Membahas
 tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia tidak bisa terlepas dari 
sebuah lembaga pendidikan tradisional yang bernama 
pesantren. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh bersama 
nafas dinamika masyarakat Islam disekitarnya, pesantren mampu 
menempatkan dirinya sebagai salah satu agen perubahan masyarakat dengan 
mengusung idealitas teologis yang menjadi dasar pergerakannya.
Abdurrahmad
 Wahid, menyatakan bahwa pesantren nyaris menjadi kekuatan subkultur 
masyarakat Islam di Indonesia, dengan melalui proses pembentukan tata 
nilai tersendiri di dalam pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya, 
adanya daya tarik ke luar, sehingga memungkinkan masyarakat sekitar 
menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup yang 
ideal dalam masyarakat itu sendiri, dan berkembangnya suatu proses 
pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat di luarnya, yang akan 
berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal 
diterima oleh kedua belah pihak (Wahid, 1974:40). Sehingga
 praktis sejarah penyebaran nilai Islam dalam masyarakat Indonesia baik 
secara langsung maupun tidak langsung akan bersentuhan dengan tradisi 
pesantren.
Selaras
 dengan penyebaran Islam ini, ada sebuah implikasi penting yang layak
 untuk menjadi bahan kajian, yaitu penyebaran bahasa Arab, sebagai 
bahasa kitab suci Al-Quran, bahasa ibadah, dan khasanah keilmuan Islam
 yang menurut Dr. Hidayatulloh Zarkasiy, bahasa Arab dan penyebaran 
Islam di Indonesia merupakan dua bagian yang tidak bisa dipisahkan, 
karena bahasa ini selalu melekat dalam aktivitas ibadah yang dilakukan 
seorang muslim, terutama dalam sholat, inilah untuk pertama kali umat 
Islam memiliki keinginan mempelajari bahasa Arab, dimulai dari pelafalan
 huruf-huruf Hijaiyah hingga pada tahap pemahaman makna kata dan 
struktur kalimat (Zarkashiy, 1991:73).
Eksistensi
 pesantren tradisional juga menempati posisi penting dalam penyebaran 
bahasa Arab di Indonesia melalui halaqoh-halaqoh keilmuan Islam
 yang dikembangkan di dalamnya. Pesantren juga membekali para santri 
dengan disiplin ilmu kebahasaan Arab sebagai alat untuk memahami 
Al-Quran dan literatur keagamaan Islam yang berbahasa Arab, sehingga 
terjadi sebuah perjumpaan antara pesantren tradisional, penyebaran 
Islam, dan penyebaran bahasa Arab dalam pembentukan peradaban Islam 
Indonesia yang khas.
Pengertian Pesantren 
Tradisional
Kata
 pesantren sebenarnya berakar dari kata santri yang menurut 
Prof. A.H. Johns, kata tersebut adalah bahasa Tamil, yang berarti guru 
mengaji. Sedangkan CC.Berg berpendapat bahwa istilah tesebut berasal 
dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu 
buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama 
Hindu. Kata Shastri berasal dari shastra yang berarti buku-buku suci, 
buku-buku agama atau buku-buku agama atau buku-buku pengetahuan 
(Dhofier, 1994:18). Tetapi, walaupun istilah santri berdekatan dengan 
bahasa agama Hindu, namun di Indonesia kata yang kemudian berubah 
menjadi kata pesantren ini lazim digunakan dalam khasanah kelembagaan 
pendidikan Islam. 
Secara
 terminologis, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama 
Islam.Umumnya, proses pendidikan pesantren berlangsung secara non 
klasikal, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Isalam kepada 
santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab 
oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok 
(asrama) dalam pesantren tersebut. (Prasodjo, 1982:6). Kyai di sini 
adalah seorang guru yang menjadi tokoh sentral dalam pesantren, yang 
dari kemampuan pribadinya, pertumbuhan suatu pesantren tergantung 
padanya (Dhofier, 1994:55). Santri adalah murid-murid yang sengaja 
menuntut ilmu di pesantren, baik ia bermukim di sana ataupun tidak. 
Adapun
 istilah tradisional, ia berasal dari kata tradisi yang dalam khasanah 
bahasa Indonesia berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran 
dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang (Poerwadarminta, 
1982:1088). Ada pula yang menuturkan bahwa tradisi berasal dari kata 
traditum, yaitu segala sesuatu yang ditranmisikan, diwariskan oleh masa 
lalu ke masa sekarang. Dan ketika kata ini berubah menjadi kata 
tradisional yang berarti menurut adat, turun-temurun, maka sebagaimana 
diketahui kata tradisional dipergunakan untuk mensifati sesuatu, 
misalnya kata tari atau pakaian tradisional, yaitu tari atau pakaian 
menurut adat atau yang diwarisi turun temurun. Dalam aspek-aspek yang 
lain kita mengenal istilah-istilah upacara tradisional, pengobatan 
tradisional dan sebagainya (Bawani, 1993:24). 
Merujuk
 kepada pengertian-pengertian di atas, pesantren tradisional bisa 
didefinisikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola berdasarkan
 pola-pola lama yang sengaja dilestarikan, pengajarannya menggunakan 
kurikulum yang diadopsi dari warisan masa sebelumnya dan dilakukan 
secara turun temurun.
Sejarah Pondok 
Pesantren Tradisional
Pendidikan
 Islam, secara kelembagaan, dalam catatan sejarah tampak dalam bentuk 
yang bervariasi. Di samping lembaga yang bersifat umum seperti masjid, 
terdapat lembaga-lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. 
Secara umum, pada abad keempat Hijrah dikenal beberapa sistem pendidikan
 (Madaris Al-Tarbiyah) Islam.
Hasan
 Abdul Al-‘Al, menyebutkan lima sistem dengan klasifikasi sebagai 
berikut; Sistem Pendidikan Mu’tazilah, Sistem Pendidikan Ikhwan 
Al-Shafa, Sistem Pendidkan Bercorak Filsafat, Sistem Pendidikan Bercorak
 Tasawwuf, dan Sistem Pendidikan Bercorak Fiqh. Adapun Hassan Muhammad 
Hassan dan Nadiyah Muhammad Jamaluddin juga menyebutkan lima sistem, 
masing-masing; sistem pendidikan bercorak teologi, sistem pendidikan 
bercorak syiah, sistem pendidkan bercorak filsafat, sistem pendidikan 
bercorak tasawwuf, dan sistem pendidikan bercorak fiqh dan al-hadis.
Institusi
 yang dipakai masing-masing golongan yaitu: (1) Failusuf, memakai
 nama Dar Al-Hikmah, Al-Muntadiyat, Hawanit dan Warraaqiin.
 (2) Syi’iyyun, memakai nama Dar Al-Hikmah, Masaajid, (3)
 Mutashawwif, memakai nama Al-Zawaaya, Al-Ribath, 
Al-Masaajid, dan Halaqat Al-Dzikr, (4) Mutakallimin,
 memakai nama Al-Masajid, Al-Maktabat, Hawanit, Al-warraqin, dan 
Al-Muntadiyat, dan (5) Fuqaha’ dan Al-Muhadditsin,
 mereka memakai nama Al-Katatib, Al-Madaris, dan Al-Masajid.
Masing-masing
 sistem di atas memiliki institusi yang khusus walaupun umumnya 
memanfaatkan masjid. Menurut Hassan dan Nadiyah institusi-institusi
 itu terkait dengan pendidikan-pendidikan yang dilakukan dan 
aliran-aliran pemikiran Islam yang berkembang di dalamnya (Maksum, 
1999:52).
Cyril
 Glasse, dalam ensiklopedi Islamnya menulis bahwa dar Al-hikmah adalah
 sebuah akademi yang didirikan khalifah Fathimiyah , Al-Hakim (w.411/1021),
 di Kairo sebagai perluasan istananya, tempat ini juga tempat 
berkumpulnya kalangan cendekiawan dan sekaligus sebagai pusat penyiapan 
para da’i (propagandis) untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah 
(Glasse, 1999:71).   
Adapun
 Zawiyah/Zawaya, di Afrika Utara istilah ini berarti sebuah 
tempat ibadah/sebuah masjid kecil, sebuah tempat pengasingan untuk 
kegiatan keagamaan, atau secara khusus tempat pertemuan para sufi untuk 
melaksanakan doa dan dzikir (Glasse, 1999:447). Sedangkan Ribath bersesuaian
 dengan zawiyah, tempat pertemuan para sufi. (Glasse, 
1999:343). 
Tempat-tempat
 di atas kalau dicermati, awalnya bukan sebagai tempat yang secara 
khusus dibangun untuk sarana pendidikan, namun lebih dari sebuah 
implikasi dari fungsi masjid sebagai sentrum kegiatan masyarakat muslim,
 karena implikasi itu terus bertambah sehingga masjid menjadi 
multifungsi. Seiring dengan perkembangan itu peribadatan di masjid 
menjadi terganggu oleh suara bising dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh 
proses pengajaran, sehingga dibangunlah kuttab-kuttab sebagai 
tempat penyelenggaraan pendidikan dan model inilah yang 
diadopsi oleh penyebar agama Islam di Indonesia menjadi pondok 
pesantren. Sebagaimana dikatakan George Makdisi, bahwa pesantren di 
Indonesia menyerupai madrasah-madrasah di Baghdad pada abad 11-12 M, 
terdiri dari masjid, asrama/pondok, dan kelas belajar (Maksum, 1999:80).
Dengan
 akar sejarah seperti itu, sebagian sarjana di Indonesia berasumsi bahwa
 tradisi pendidikan Islam di Indonesia tidak sepenuhnya khas Indonesia, 
kecuali hanya menambahkan muatan dan corak keislaman terhadap terhadap 
tradisi pendidikan yang sudah ada. Bahkan masuknya Islam tidak mengubah 
format penyelenggaraan yang sebelumya sudah ada dan mentradisi, namun 
yang paling pokok adalah materi yang dipelajari, bahasa, dan latar 
belakang pelajar-pelajar (Sumanjuntak, 1973:24). Namun satu hal yang 
sepertinya sangat tersepekati adalah bahwa sejarah berdirinya pesantren 
sangat erat hubungannya dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia 
(Bimbaga, 2003:7). 
Pengajaran Bahasa Arab
 di Pesantren Tradisional
Pondok
 pesantren adalah sebuah sistem yang unik. Tidak hanya unik dalam 
pendekatan pengajarannya, tapi juga unik dalam pandangan hidup dan tata 
nilai yang dianut, cara hidup yang ditempuh, struktur kewenangan, serta 
semua aspek-aspek kependidikan dan kemasyarakatan lainnya. Dari perbagai
 corak dan model pesantren yang ada yang di Indonesia, secara umum 
paling tidak ada 5 (lima) unsur pembentuk pesantren, yaitu: 1) kyai, 2) 
santri, 3) pengajian, 4) asrama/pondok, dan 5) masjid. 
Kelima
 unsur pembentuk pesantren itu biasanya tersentral kepada figur kyai 
yang memimpin/mendirikan pesantren itu, segala macam aktivitas yang ada 
dalam pesantren harus atas sepengetahuan dan persetujuan sang kyai, 
termasuk pembelajaran yang ada di dalamnya semua terpusat pada kyai, 
kalaupun ada sistem klasikal yang berjenjang, yang setiap kelas diajar 
oleh ustadz-ustadz muda, maka semua pengajar di kelas itu 
adalah orang-orang yang direkomendasiakan sang kyai. Di sini, kyai 
adalah pusat dari gerakan kelompok yang terwadahi dalam pesantren 
tersebut. Dalam subbab ini penulis akan menguraikan beberapa hal yang 
terkait dengan pembelajaran agama Islam dan bahasa Arab di pesantren 
antara lain: kurikulum/manhaj, masa pembelajaran dan 
syahadah, serta metode pembelajaran.
Kurikulum/Manhaj
Sebenarnya
 pesantren tradisional tidak memiliki kurikulum formal seperti yang 
dipakai dalam lembaga pendidikan modern, karena kurikulum yang ada di 
dalamnya tidak memiliki silabus, tapi berupa funun kitab-kitab 
yang diajarkan pada santri. Kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu yang
 telah ditentukan oleh sang kyai harus dipelajari sampai tuntas, sebelum
 naik ke kitab lain yang tingkat kesukarannya lebih tinggi. 
Tamatnya
 program pembelajaran tidak diukur oleh satuan waktu, juga tidak diukur 
pada penguasaan tehadap topik-topik tertentu, namun diukur dari 
ketuntasan dan kepahaman santri pada kitab yang dipelajarinya. 
Kompetensi standar bagi tamatan sebuah pesantren adalah kemampuan 
menguasai, memahami, menghayati, mengamalkan, dan mengajarkan isi kitab 
tertentu yang telah ditetapkan. Kompetensi standar ini tercermin pada 
penguasaan kitab-kitab secara graduatif, berurutan dari yang ringan 
sampai yang berat, dari yang mudah sampai yang sukar, dari kitab yang 
tipis sampai yang tebal dan berjilid-jilid. Kitab-kitab itu disebut 
kitab kuning, disebut demikian karena dicetak di atas kertas berwarna 
kuning, juga disebut kitab “gundul” (botak) karena huruf-hurufnya tidak 
ber-syakal (ber-harakat) (Bimbaga, 2003:32).
Zarkashy
 (1991:84) menjelaskan jenis fan dan kitab yang diajarkan di 
pesantren-pesantren tradisional berdasarkan tingkatan/level pendidikan. 
Pada strata pendidikan tingkat dasar –misalnya- terdapat kitab: 
Al-Jawahir Al-Kalamiyah (Tauhid), Safinah Al-Najah (Fiqih), Al-Washaya 
Al-Abna (Akhlak), Al-Nahwu Al-Wadhih (Nahwu), Al-Amtsilah Al-Tashrifiyah
 (Sharaf). Pada tingkat menengah pertama, kitab-kitab yang biasa 
dipergunakan diantaranya: Tuhfah Al-Athfal (Tajwid), Aqidah Al-Awwam 
(Tauhid), Fath Al-Qarib (Fiqih), Ta’lim Al-Muta’allim (Akhlak), Nurul 
Yaqin (Tarikh). Sedangkan pada tingkat menengah atas, digunakan 
kitab-kitab seperti: Tafsir al-Qur'an al-Jalalain (Tafsir), Al-Arbain 
Al-Nawawi (Hadis), Minhah Al-Mugits (Musthalahul Hadis), Tuhfah Al-Murid
 (Akhlak), Al-Waraqat (Usul Fiqh), Al-Jawhar Al-Maknun (Balaghah). Di 
tingkat tinggi, kitab yang biasa dipelajari, antara lain: Fath Al-Wahhab
 (Fiqh), al-Itqan fi Ulum al-Qur'an (tafsir), Jami’ al-Jawami’ (Ushul 
Fiqh), dan lain-lain.
Dalam
 pelaksanaannya, perjenjangan diatas tidaklah mutlak. Dapat saja pondok 
pesantren memberikan tambahan atau melakukan langkah-langkah inovasi, 
misalnya mengjarkan kitab-kitab yang populer, tetapi lebih mudah dalam 
penyajiannya, sehingga lebih efektif para santri menguasai materi. 
Dengan
 jenis materi seperti di atas, terlihat bahwa pesantren tradisional 
memegang peranan penting dalam penyebaran Islam dan bahasa Arab di 
Indonesia, ditambah lagi dengan penerapan metode pengajaran khas yang 
memungkinkan seorang santri menguasai bahasa Arab melalui pengayaan 
mufrodat dan penguasaan tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf). 
Metode Pembelajaran 
Metode
 pembelajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk 
menyampaikan ajaran sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan pondok 
pesantren salafiyah, ajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning,
 kitab rujukan, refrensi yang dipegang oleh pondok pesantren tersebut. 
Pemahaman terhadap teks-teks ajaran tersebut dapat dicapai melalui 
metode paembelajaran tertentu yang bisa digunakan oleh pondok pesantren.
 Selama kurun waktu panjang pondok telah memperkenalkan dan menerapkan 
beberapa metode pembelajaran.
Metode
 pembelajaran di pondok pesantren salafiyah ada yang bersifat 
tradisional, yaitu pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan 
yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut 
metode pembelajaran asli (original) pondok pesantren. Namun karena 
perkembangan jaman dimasa-masa selanjutnya sudah mulai ditemukan di 
beberapa pesantren tradisional metode pembelajaran modern (tajdid).
 Metode pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil 
pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memaksukkan metode yang 
berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak selalu diikuti dengan 
menerapkan sistem modern, yaitu sistem sekolah atau madrasah. Beberapa 
Pondok pesantren tradisional sebenarnya telah pula menyerap sistem 
klasikal. Tetapi tidak dengan batas-batas fisik yang tegas sebagaimana 
sistem klasikal pada persekolahan modern (Bimbaga, 2003:37).
Berikut
 ini beberapa metode pembelajaran tradisional yang menjadi ciri utama 
pembelajarn di pondok pesantren tradisional 
Pertama,
 Metode
 Sorongan. Sorongan, berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang berarti
 menyodorkan (Bimbaga, 2003:38), sebab setiap santri menyodorkan 
kitabnya dihadapan kyai atau pembantunya (badal, asisten kyai). Sistem 
sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri 
berhadapan dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal 
diantara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat lebih efektif 
sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi 
seorang alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai 
dan menimbang secara maksimal kemampuan seorang santri dalam menguasai 
materi pembelajaran. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para 
santri yang menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perorangan 
(individual), dibawah bimbingan seorang kyai atau ustadz.
Pembelajaran
 dengan sistem sorogan diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat 
duduk kyai atau ustadz, didepannya ada meja pendek untuk meletakkan 
kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengaji 
kitab yang sama ataupun kitab yang berbeda duduk agak jauh sambil 
mendengarkan apa yang diajarkan oleh kyai atau ustadz sekaligus 
mempersiapkan diri menunggu giliran dipanggil.
Sistem
 ini memiliki satu kaidah penerjemahan yang khas dari bahasa Arab setiap
 jabatan kata dalam kalimat berbahasa Arab memiliki kode tertentu 
sehingga secara tidak langsung ada proses internalisasi pemahaman tata 
bahasa Arab. Kalimat demi kalimat diterjemahkan ke bahasa 
daerah, dibawah setiap kata Arab biasanya ada terjemahan dengan bahasa 
lokal daerah, dengan menggunakan huruf “Arab Pegon”.
Kyai
 atau ustadz mendengarkan dengan tekun pula apa yang dibacakan santrinya
 sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya. Setelah tampilan santri 
dapat diterima, tidak jarang juga kyai memberikan tambahan penjelasan 
agar apa yang dibaca oleh santri dapat lebih dipahami. Metode 
pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang sangat bermakna 
karena santri merasa berhubungan khusus ketika berlangsung pembacaan 
kitab dihadapan kyai. Mereka tidak saja senantiasa dapat dibimbing dan 
diarahkan cara membacanya tetapi dapat dievaluasi perkembangan 
kemampuannya. Berdasarkan penelitian Zamakhsyari Dhofier, sistem ini 
sangat efektif pada taraf awal pendidikan santri terutama dalam 
penguasaan bahasa Arab (Dhofier, 1994:29).
Namun
 sekalipun kelihatannya metode ini hanya cocok untuk pemula tetapi dapat
 juga dipakai untuk tingkat kelanjutan bahkan tingkat tinggi. Untuk 
tingkat lanjutan dapat saja yang memulai membaca adalah santri, kyai 
atau ustadz hanya mendengarkan dan memperhatikan kefasihan, ketepatan 
ucapan, sekaligus memparhatikan tingkat pemahaman santri terhadap apa 
yang dibacanya (Bimbaga, 2003:39).
Kedua,
 Metode
 Wetonan/Bandongan. Wetonan, istilah wetonan ini berasal dari kata wektu
 (bahasa Jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diiberikan 
pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat 
fardhu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri 
mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang 
menerangkanpelajaran kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan 
membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di Jawa Barat disebut 
dengan bandongan (Bimbaga, 2003:40).
Metode
 bandongan dilakukan oleh kyai atau sekelompok santri untuk mendengarkan
 dan menyimak apa yang dibacakan oleh kyai dari sebuah kitab. Kyai 
membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas teks-teks 
kitab berbahasa Arab tanpa harokat (gundul). Santri dengan memegang 
kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat kata 
langsung dibawah kata yang dimaksudagar dapat memnbantu memahami teks. 
Posisi para santri pada pembelajaran dengan metode ini adalah melingkari
 dan mengelilingi kyai atau ustadz sehingga dapat membentuk halaqah 
(lingkaran). Dalam penerjemahannya, kyai atau ustadz dapat juga 
menggunakan berbagai bahasa yang menjadi bahasa utama para santrinya, 
misalnya ke dalam bahasa Jawa, Sunda atau bahasa Indonesia.
Hampir
 disemua pesantren tradisional menggunakan sistem ini secara maksimal 
dengan pengajaran yang yang berkesinambungan dari bab ke bab selanjutnya
 dengan menerjemahkan arti per-kata dan saat tertentu kyai juga 
menyinggung kaidah-kaidah ilmu nahwu yang terkait dengan kalimat yang 
sedang beliau terjemahkan, dan santri akan menirukan seperti apa yang 
dibacakan oleh kyai (Yunus, 1979:56). 
Berkaitan
 dengan kegiatan penilaian, biasanya kyai atau ustadz memiliki 
catatan-catatan khusus sehingga para santri belajar belajar 
sungguh-sungguh karena merasa diawasi dan dimonitor perkembangan 
kemampuannya (Bimbaga, 2003:43).
Ketiga,
 Metode
 Musyawarah atau Bahtsul Masa’il. Metode musyawarah atau dalam istilah 
lain bahtsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang mirip dengan 
metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dalam jumlah tertentu
 membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kyai atau ustadz, atau 
mungkin santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalanyang 
telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaanya, para santri dengan 
bebas mengajukan pertanyaan atau pendapatnya. Dengan demikian metode ini
 menitik beratkan pada kemampuan perseorangan didalam menganalisis dan 
memecahkan suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada 
kitab-kitab tertentu. Musyawarah pada bentuk kedua ini bisa digunakan 
oleh santri tingkat menengah atau tinggi untuk membedah topic materi 
tertentu.
Untuk
 melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode musyawarah kyai atau 
ustadz biasanya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan, yaitu: 1) Peserta 
musyawarah adalah para santri yang berada pada tingkat menengah atau 
tinggi. 2) Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan 
mencolok. Ini untuk mengurangi kegagalan musyawarah. 3) Topik atau 
persoalan (materi) yang dimusyawarahkan biasanya ditentukan terlebih 
dahulu oleh kyai atau ustadz pada pertemuan sebelumnya. 4) Pada beberapa
 pesantren yang memiliki santri yang tingkat tinggi, musyawarah dapat 
dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.
Langkah
 persiapan terpenting pada metode ini adalah terlebih dahulu memberikan 
topic-topik materi yang akan dimusyawarahkan. Pilihan topic itu 
sendiriamat menentukan. Topic yang menarik umumnya mendapat respon yang 
baik danmemberikan dorongan yang kuat kepada para santri untuk belajar. 
Penentuan topic secara lebih awak ini dimaksudkan agar para peserta 
dapat mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan. Selain itu 
juga disampaikan penjelasan tentang cara-cara yang dilakukan berkenaan 
dengan dipihnya metode musyawarah.
Sebagai
 permulaan, kyai atau ustadz, atau salah satu santri senior menjelaskan 
secara singkat permasalahan yang akan dibahas. Pada pesantren yang 
memiliki ma’had ‘aly (takhosus tingkat tinggi) penyaji adalah para 
santri yang telah disusun secara terjadwal dengan topic tertentu untuk 
menyampaikan pemikiran-pemikiran atau persoalan-persoalannya. Para 
santri yang berfungsi sebagai penanggap yang berkesempatan untuk 
menaggapi apa yang disajikan oleh penyaji yang mendapat tugas.
Kegiatan
 penilaian dilakukan oleh kyai atau ustadz selama kegiatan musyawarah 
berlangsung. Hal-hal yang menjadi perhatiannya adalah kualitas jawaban 
yang diberikan oleh peseta yang meliputi : kelogisan jawaban, ketepatan,
 dan kevalidan refrensi yang disebutkan serta bahasa yang disampaikan 
dapat dengan mudah dapat sifahami santri lain, serta kualitas pertanyaan
 atau sanggahan yang dikemukakan. Hal lain yang dinilai adalah pemahaman
 terhadap teks bacaan, juga kebenaran dan ketepatan peserta dalam 
membaca dan menyimpulkan isi teksyang menjadi persoalan atau teks yang 
menjadi rujukan. 
Keempat,
 Metode
 Pengajian Pasaran. Metode pengajian pasaran adalah kegiatan 
pembelajaran para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada
 seorang kyai/ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam 
kegiatan yang terus menerus (marathon) selama tenggang waktu tertentu. 
Pada umumnya dilakukan pada Bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua 
puluh hari, atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada kitabnya 
yang dikaji. Metode ini mirip dengan metode bandongan, tetapi pada 
metode ini target utamanya adalah “selesai”nya kitab yang dipelajari. 
Pengjian Pasaran ini dahulu banyak dilakukan dipesantren-pesantren tua 
di Jawa, dan dilakukan oleh kyai-kyai senior dibidangnya. Titik beratnya
 pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan. 
Sekalipun dimungkinkan bagi para pemula untuk mengikuti pengajian ini, 
namun pada umumnya pesertanya terdiri dari mereka-mereka yang telah 
belajar atau membaca kitab tersebut sebelumnya. Kebanyakan pesertanya 
justru para ustadz atau para kyai yang datangdari tampat lain yang 
sengaja dating untuk itu. Dengan kata lain, pengajian ini lebih banyak 
untuk mengambil berkah atau ijazah dari kyai-kyai yang dianggap senior.
Dalam
 perspektif lebih luas, pengajian ini dapat dimaknai sebagai proses 
pembentukan jaringan kitab-kitab tertentu diantara pesantren-pesantren 
yang ada. Mereka yang mengikuti pengajian pasaran di tempat tertentu 
akan menjadi bagian dari jaringan pengajian pesantren itu. Dlam konteks 
pesantren hal ini amat penting karena akan memperkuat keabsahan 
pengajian dipesantren-pesantren para kyai yang telah mengikuti pengajian
 pasaran ini.
Sebelum
 memasuki bulan ramadhan, beberapa pesantren biasanya mengeluarkan 
jadwal, jenis kitab, dan kyai yang akan melakukan balagh pasaran di 
bulan itu. Berdasarkan itu, santri, ustadz atau kyai yang berminat akan 
merencanakan sendiri kemana ia akan menuju dan kitab apa yang ia pilih. 
Biasanya kitab yang akan dipilih ialah kitab yang pernah ia pelajarinya,
 namun membutuhkan penguatan, atau ada kalanya kitab yang sulit sekali 
diperoleh pengajiannya ditempat lain pada waktu-waktu biasa. Memang ada 
kalanya untuk pasaran seorang kyai sengaja membaca kitab yang jarang 
dibaca kyai lainnya. Untuk mereka yang sengaja datang untuk pasaran, 
pesantren biasanya menyediakan tempat khusus.
Kegiatan
 pengajian itu sendiri biasanya dilakukan sepanjang hari. Waktu 
istirahat biasanya hanya shalat, waktu beruka puasa, dan setelah jam dua
 belas malam. Kitab yang telah ditentukan dibaca dan diterjemahkan oleh 
seoarang kyai secara cepat, sedangkan santri menyimak untuk memberikan 
catatan pada bagian-bagian tertentu saja atau mencatat 
penjelasan-penjelasan singkat yang biasanya memang diberikan.
Setelah
 pembacaan selesai (khatam), para santri kembali pesantrennya semula. 
pengajian berakhir biasanya beberapa menjelang datangnya Idul Fitri. 
Disini tidak dilakukan sama sekali konfirmasi ulang kepada kyai 
sekalipun, misalnya sebagian santri memerlukan tambahan keterangan atau 
penjelasan.
Pengajian
 pasaran ini sesungguhnya amat besar maknanya, mengingat kebanyakan yang
 mengikutinya ialah mereka-mereka yang memiliki pengalaman atau 
kemampuan tertentu, khususnya kitab yang akan dibaca atau dikaji. Salah 
satu cara untuk meningkatkan efektifitasnya ialah dengan meniadakan 
pengertian harfiah sebagai pengajian sorogan tingkat awal, hanya 
membacanya secara benar dan memberikan ulasan-ulasan singkat pada topik 
yang dianggap penting.
Kegiatan
 pembelajaran dengan menggunakan metode pengajian pasaran merupakan 
pengajian yang hampir sulit dievaluasi. Tanda keberhasilanya yang paling
 dapat diukur adalah apabila pengajian itu dapat diselesaikan, atau 
kitab dapat dibaca hingga selesai (khatam). Kebanggaan santri adalah 
selama dalam bulan Ramadhan itu merampungkan kegiatan pengajian 
pasarannya dengan beberapa buah kitab yang banyak halamannya (tabal).
Kelima,
 Metode
 Hafalan (Muhafazhah). Metode hafalan ialah kegiatan para santri dengan 
cara menghafal suatu teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan 
kyai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan 
salam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian 
dihafalkan dihadapan kyai/ustadz secara periodic atau incidental 
tergantung pada suatu petunjuk kyai/ustadz yang bersangkutan. Materi 
pembelajaran dengan metode hafalan umumnya berkenaan dengan
 Al-Qur’an, nazham-nazham untuk nahwu, sharaf, tajwid,
 ataupun untuk teks-teks nahwu sharaf dan fiqh.
Dalam
 pembelajarannya metode ini seorang santri ditugasi oleh kyai untuk 
menghafalkan satu bagian tertentu atau keseluruhan dari sesuatu kitab. 
Titik tekan metode ini santri mampu mengucapkan/menghafalkan 
kalimat-kalimat tertentu secara lancar tanpa teks. Pengucapan tersebut 
dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Metode ini dapat juga
 digunakan dengan metode bandongan atau sorogan. Untuk mengevaluasi 
kegiatan belajar dengan metode hafalan ini dilakukan dengan dua macam 
evaluasi yaitu: pertama, dilakukan pada setiap kali tatap muka, dan yang
 kedua pada waktu yang telah dirampungkan/diselesaikannya seluruh 
hafalan yang ditugaskan kepada santri.
Keenam,
 Metode
 Demontrasi/Praktek Ibadah. Metode ini adalah cara pembelajaran yang 
dilakukan dengan memperagakan (mendemontrasikan) suatu ketrampilan dalam
 hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun
 kelompok dibawah bimbingan dan petunjuk kyai atau ustadz, dengan 
beberapa kegiatan, yaitu: 1) para santri mendapatkan penjelasan/teori 
tentang tata cara (kaifiat) pelaksanaan ibadah yang akan dipraktekkan 
sampai meraka betul-betul memahaminya. 2) Para santri berdasarkan 
bimbingan kyai/ustadz mempersiapkan segala perlengkapan atau peralatan 
yang diperlukan kegiatan praktek. 3) Setelah menentukan waktu dan tempat
 para santri berkumpul untuk menerima penjelasan singkat berkenaan 
dengan urutan kegiatan yang akan dilakukan serta pembagian tugas kepada 
para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktek. 4) Para santri secara 
bergiliran/bergantian memperagakan pelaksanaan praktek ibadah tertentu 
dengan dibimbing dan diarahkan oleh kyai atau ustadz sampai benar-benar 
sesuai kaifiat (tata cara pelaksanaan praktek ibadah sesungguhnya). 5) 
Setelah selesai kegiatan praktek ibadah para santri diberikan kesempatan
 mempertanyakan hal-halyang dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.
Masa Pembelajaran dan 
Syahadah (Ijazah)
Masa
 pembelajaran adalah jangka waktu yang tertentu yang dihabiskan untuk 
menempuh pendidikan dipondok pesantren. Masa pembelajaran sangat 
bergantung pada model pembelajaran yang ada. Karena model pondok 
pesantren yang secara langsung berhubungan dengan model 
pembelajarannya yang bermacam-macam bentuknya, maka masa atau waktu 
belajar yang dimanfaatkan oleh para santri dipondok pesantren menjadi 
berbeda-beda pula.
Masa
 pembelajaran di pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal lebih
 tampak dalamsatuan waktu. Satuan waktu tersebut dapat berupa semester, 
catur wulan, tahun, dan keseluruhan program dalam kurun waktu tertentu, 
seperti enam tahun untuk MI, tiga tahun untuk MTs dan seterusnya. Satu 
tahun. Nama masing-msing pembelajaran yang berbeda-beda, misalnya kelas,
 marhalah, fashal, thabaqah, sanah, dan sebagainya.
Rata-rata
 pembelajaran pondok pesantren tergantung pada pimpinan yang 
bersangkutan, dewan Pembina atau dewan pengajarnya. Bisa mencapai tiga 
atau enam tahun, atau tergantung kelulusannya pada lembaga pendidikan 
formal yang juga diselenggarakan oleh pondok pesantren. Pengjian ini 
tidak dibatasi dengan batas waktu tertentu dan tanpa perjanjian khusus. 
Selesainya masa pelajaran adalah jika ia sudah merasa cukup atau kyai 
menganggap dirinya cukup memiliki pengetahuan atau ajaran agama Islam.
Pada
 saat santri selesai atau dianggap cukup dalam menerima pendidikan, baik
 itu berupa pengajian dan pendidikan ketrampilan biasanya, ia akan 
menerima ijazah, sebagaimana halnya yang terjadi pada sekolahan umum, 
madrasah atau lembaga pendidikan lainnya. Ijazah (syahadah), merupakan 
lembaran yang menunjukkan atau tanda bukti bahwa telah selesainya 
pendidikan seseorang disuatu perguruan untuk masa pembelajaran tertentu.
 Tidak seragam dengan kata ijasah. Ada yang menyebutnya dengan syahadah 
dan lainnya (Bimbaga, 2003:43-48).
Penutup
Indonesia
 sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tidak lepas dari 
akar sejarah pengkajian agama Islam dan bahasa Arab yang kokoh di 
berbagai elemen masyarakat muslim Indonesia, utamanya masyarakat 
berbasis pesantren tradisional yang dari masa ke masa terus berkembang 
dan berimprovisasi seiring dengan kemajuan jaman.
Dengan
 sistem pengajaran yang khas, pesantren tradisional telah mampu 
memproduk ulama-ulama besar di Indonesia yang lewat tangan-tangan dingin
 mereka Islam dan bahasa Arab akan selalu menyertai dinamika berbangsa 
dan bernegara dalam rentangan sejarah bangsa dari masa ke masa. Jika 
tradisi pengkajian agama Islam dan pelestarian kitab-kitab turats 
(tradisional) di pesantren-pesantren yang ada di Indonesia terus 
berlangsung dan selalu berkembang, maka tidak mustahil, apabila di 
kemudian hari nanti, Indonesia menjadi pusat pengembangan Islam dan 
bahasa Arab di dunia.þ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar