ABU YAZID AL BUSTOMI
Abu yazid bustomi, pemikiran tasawuf 
A. Pendahuluan 
Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba membahas keadaan dan sejarah dua sufi 
besar terkenal hingga nama dan sejarahnya di masa kini masih sering di bahas para sejarawan. 
Adalah Abu Yazid Bustami dan mansur al Hallaj dua orang sufi yang pada masanya telah 
menambah goresan keanekaragaman bentuk tasawuf. Bustami dengan ajaran al ittihadnya telah 
dikembangkan oleh Al Hallaj melalui ajarannya al hulul. Kedua bentuk ajaran ini tidak memiliki 
banyak perbedaan, karena Al halaj meneruskan jejak seniornya Bustami. Ideology ini pernah 
menebar hingga ke Asia tenggara khususnya di Indonesia. Di Indonesia tasawuf bukanlah benda 
asing. Pada masa sejarah tertentu ia malah telah mempribumi dan anggun. Hamzah fanzuri dan 
Syeikh Siti Jenar di jawa adalah dua dari sekian banyak nama sufi yang selalu saja berada pada 
bibir sejarah Islam Indonesia. Riwayat Syeikh Siti Jenar malahan sering disejalurkan dengan 
kisah-kisah Mansur Al Hallaj, walaupun ada perbedaan bobot zaman dan ungkapan kesufiannya. 
Namun keduanya memiliki dimensi politik dalam menerima hukuman matinya. Jika Al Hallaj 
terlibat ke dalam gerakan syiah garis keras Al Qaramithah sebagaimana dibuktikan dalam 
pengadilannya, Syeikh Siti Jenar terlibat pada penghimpunan kekuatan unutk melawan Negara 
Islam Indonesia Demak. 
1. Abu Yazid Bustami 
Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 M) adalah seorang ahli sufi yang terkenal di 
Persia sekitar abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali 
memperkenalkan faham fana¶ dan baqa¶ . Nama kecilnya adalah Thaifur. Sebelum ia mendalami 
tasawuf ia mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar 
tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia melakukan perintah dan 
meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari¶at-Nya. 
Selengkapnya perkataan beliau adalah : 
³Kalau kamu melihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia 
sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia 
mengikuti perintah syari¶at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari¶at´. Setelah ia 
mendalami tasawuf, ia memunculkan faham baqa¶ dan fana¶, dimana apabila ia telah fana¶ dan 
mencapai baqa¶ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami akan 
menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan . Ia sering 
dipandang pula sebagai sufi ³yang mabuk´ lantaran ia terlalu jauh mengucapkan kalimat 
ketuhanan dalam dirinya. 
Paham ini mendapat tanggapan yang berbeda dikalangan para ulama. Banyak yang pro 
maupun kontra. Perbedaan sikap ini terutama dikalangan ulama sufi dan dikalangan ulama fiqh. 
Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk membahas hal ini dalam sebuah makalah singkat 
yang fokusnya terutama pada tokoh pendiri, pokok-pokok ajaran dan beberapa analisa terhadap 
ajaran-ajarannya yang dikembangkannya. 
B. Riwayat Hidup Bustami 
Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi 
sering juga disebut Bayazid . Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam. Ia lahir 
diwilayah Qum di Persia Barat Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia adalah putra seorang ayah 
yang menganut keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah pemuka masyarakat di 
Biston dan ibunya dikenal sebgai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya 
Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama Majusi . 
Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami 
tasawuf. Sebagian besar kehidupan ³sufi´ dan ³abid´nya dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat 
tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta Penduduk di kota kelahirannya yang tidak 
mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun 
261 H bertepatan dengan tahun 875 M . 
Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan- 
ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan 
misalnya ungkapannya : 
³Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku´ yang belakangan 
dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj . Setelah ia 
wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan 
sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormatterhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka 
menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi. 
Pengikut al-Bustami kemuidian mengembangkan ajaran tasawufdengan membentuk 
suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. 
Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana¶, Maghrib 
(meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak 
ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat 
mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekaramatan. Sultan Moghul, Muhammad 
Khudabanda memberi kubahpada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat 
agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin . 
C. Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami : al-Fana¶, al-Baqa¶, dan al-Ittihad 
Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah. 
Pertama,aliran sufi yang pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk kepada Al- 
Qur¶an dan al-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari¶at dan para 
sufinya adalah para ulama terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua, 
adalah aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan fana¶ sering mengucapkan kata-kata 
yang ganjil yang terkenal dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan 
seorang sufi ketika ia berada digerbang ittihad . Mereka menumbuhkan konsep-konsep manusia 
melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung 
metafisis. 
Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu 
Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana¶, al-Baqa¶, dan al- 
ittihad. Dari segi bahasa al-Fana¶ berarti binasa , Fana¶ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana¶ 
artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu 
menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana¶ adalah hilangnya kesadaran pribadi 
dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana¶juga berarti 
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya 
sifat-sifat tercela . 
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana¶ adalah lenyapnya inderawi atau 
kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang 
yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan 
alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana¶ dari alam cipta atau dari alam makhluk . Selain itu 
Fana¶ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin. 
Sebagai akibat dari Fana¶ adalah Baqa¶, secara harfiah Baqa¶ berarti kekal sedangkan 
dalam pandangan kaum sufi, Baqa¶ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam 
diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan 
tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana¶ dan Baqa¶ ini menurut ahli tasawuf    
Dengan tercapainya Fana¶ dan Baqa¶ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat 
ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut ³Tajrid 
Fana¶ fi at- Tauhid´ yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun . 
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu 
Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam 
ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini 
mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang 
dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata ³Hai 
Aku´ . Dalam keadaan Fana¶ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi 
sehingga ia berbicara atas nama Tuhan. 
Al-Bustami ketika telah Fana¶ dan mencapai Baqa¶ maka dia mengucapkan kata-kata 
ganjil seperti : 
³ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha 
besar aku´. Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) 
dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : ³Siapa yang engkau cari ?´ jawabnya : ³Abu Yazid´. 
Lalu Abu Yazid mengatakan : ³Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa 
dan Maha Tinggi´ . 
Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan 
tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran. 
Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. 
Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) 
dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan substansial antara 
jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c) inkarnasi suatu aksiden 
dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e) hubungan antara suatu 
benda dengan tempatnya . 
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad 
al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri 
Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang 
bersatu dalam satu tubuh. 
Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al- 
wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud 
ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat 
al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia 
sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj . 
Paham fana¶, Baqa¶, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan 
dengan Allah. Fana¶ dan Baqa¶ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan 
sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya : 
³Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia 
mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat 
kepada-Nya´ (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110) 
Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al- 
Bustami : ³Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, ³Hai Abu Yazid, 
mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila 
mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :³Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian 
adalah engkau dan aku tidak ada disana´ . 
Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu 
Yazid : ³Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata : 
Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau . sebenarnya kata-kata ³Aku´ 
bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu 
dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang 
Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan. 
D. Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami 
Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat 
dikategorikan sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya 
³Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku´ yang telah dikemukakan 
diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana¶. Namun 
kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam keadaan Fana¶) yang 
mengatakan ³kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar,walaupun dia 
sanggup terbang di udara maka janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia 
mengikuti perintah syari¶at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari¶at´, maka dapat 
dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari¶at. Memang 
ungkapan-ungkapan al-Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya 
bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat 
lidah al-Bustami yang sedang dalam keadaan Fana¶al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan : 
³Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana¶´. 
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya 
menimbulkan berbagai tanggapan. 
Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganji (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah 
atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan . Seorang sufi yang sedang 
trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa 
yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit 
dipahami oleh pendengarnya. 
Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana¶ dari hal-hal yang 
berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu 
tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika 
menganggap kefana¶an adalah kefana¶an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat 
ketuhanan. Menurut pendapat yang mengatakan ketika Fana¶ hilang sifat-sifat mereka dan masuk 
sifat-sifat Yang Maha Benar adalah keliru, karena dapat mengantar mereka kepada Hulul atau 
penyatuan manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat 
dalam kalbu adalah keimanan kepada-Nya, pembenaran kepada-Nya dan pengenalan akan dia. 
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya 
berarti telah Fana¶ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia 
mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri dan perkataan tersebut 
tidak akan terucap dalam kondisi normal bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri . 
Al-Junaid mengatakan bahwa seorang sufi yang dalam keadaan trance tidak mengucapkan 
tentang dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia sangat terbuai 
sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi menilai bahwa al-Bustami adalah 
termasuk para sufi yang tidak bisa mengendalikan diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak 
bisa menjadi panutan sufi lainnya. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi 
yang trance dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dilaksanakan. Semantara itu ulama yang 
berpegang teguh kepada syari¶at secara zhahir menuduhnya sebagai sufi kafir karena 
menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama yang lain mentolerir ucapan semacam itu 
dianggap sebagai penyelewengan dan bukan kekafiran . 
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas ternyata ungkapan-ungkapan al-Bustami 
disampaikan dalam keadaan Fana¶ dan tidak dapat dijadikan pedoman karena diucapkan dalam 
keadaan tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yangb sempurna, oleh sebab itu, tidaklah 
tepat kalau ia dituduh sebagai seorang sufi yang kafir. Lagi pula faham Fana¶ dan Baqa¶ yang 
ditujukan untuk mencapai ittihad itu dapat dipandang sejalan dengan konsep liqa al-arabbi.Fana¶ 
dan Baqa¶ merupakan jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman 
Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah 
SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa 
terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya. Konasep Fana¶ dan 
Baqa¶ ini juga di ilhami dari isyarat ayat yang berbunyi : 
³Semua yang ada di bumi ini adalah binasa (26) dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang 
mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)´. (QS. Al-Rahman, 55 : 26-27) 
Abu Yazid al-Bustomi (w. 874 M) 
Beliau dipandang sebagai sufi pertama yang mempunyai faham fana dan baqa. Hal ini terlihat 
dari kata-katanya : ³ Aku tahu Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu 
padaNYA melalui diriNya, maka akupun hidup. Faham fana dan baqa ini sebagai salah satu 
prasyarat seseorang dapat bersatu dengan Tuhan, karena selama belum dapat menghancurkan 
dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Fana yang dicari sufi adalah penghancuran diri, 
yakni hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia, sehingga yang 
tinggal wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. 
PEMAHAMAN SUMBER AJARAN : AL-QUR¶AN DAN HADITS. 
1. Pemahaman Ahli Tasawuf. 
a. Dalam memahami al-Qur¶an dan Hadits kaum sufi mengambil makna bathin yang diyakininya 
sebagai makna yang dimaksud oleh Allah swt. Karena dibalik dalil-dalil yang berupa kata-kata 
dan kalimat terdapat beberapa makna yang sangat dalam dan sangat halus. Hakekat al-Qur¶an 
tidak hanya terbatas pada pengertian yang bersifat lahiriah saja tetapi tersirat makna bathin yang  
                                AKIBAT-AKIBAT DAN PREDIKSI PEMIKIRAN ISLAM  
1. Dalam Bidang Filsafat mengakibatkan tumbuhnya sikap kritis di kalangan ummat Islam dan 
pemahaman yang seksama terhadap ajaran Islam. Sehingga ajaran Islam tidak dilihat sebagai 
sesuatu yang formalistik tetapi menjadi lebih bermakna dan mampu menangkap hikmah serta inti 
dari ajaran Islam itu sendiri. Hanya saja sikap pro dan kontra terhadap filsafat sebagaimana 
terjadi pada masa lampau hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana, sehingga filsafat 
ditempatkan pada proporsi yang benar sebagai pisau analisa ajaran Islam. Dan kiranya kajian 
filsafat tidak terjebak pada kajian sejarah filsafat dan perlu diperkenalkan sejak SLTA. Model 
kajian filsafat seperti M.Amin Abdullah, Otto Horrasowitz, Majid Fakhry, Harun Nasution, 
Ahmad Fu¶ad al-Ahwani, dan Juhaya S.Praja perlu terus dikembangkan, sehingga filsafat Islam 
mempunyai bentuknya yang utuh. 
2. Dalam bidang kalam, yang telah melahirkan banyak aliran telah menjerumuskan kita pada 
kajian masa lalu yang banyak dipengaruhi oleh politik dan fanatisme. Masa kini dan masa 
mendatang dengan telah dipahaminya metode berpikir setiap aliran, kiranya kajian kalam akan 
lebih murni dan bebas fanatik. Kajian kalam yang telah dilaksanakan oleh ulama dulu dapat 
dijadikan model untuk kajian mendatang, baik pada obyek materialnya maupun pada objek 
formalnya. Kajian sejarah aliran dan perbandingannya juga dapat dijadikan salah satu tangga 
untuk mencapai kesempurnaan dengan dapat disimpulkannya kelebihan dan kekurangan masing- 
masing aliran. Sehingga harapan Islam yang satu, ummat yang satu dan tercapai. 
3. Dalam bidang tasawuf yang telah melahirkan tarekat sebagai organisasi sufi hendaknya tidak 
membawa ummat kepada saling mengklaim, bahwa tarekatnya yang paling benar dan mampu 
membawa kepada Tuhan, tetapi dapat dijadikan sebagai khazanah ummat Islam dalam upayanya 
untuk selalu ingin sedekat mungkin dengan Tuhan, walaupun kajian kritis, mana yang mu¶tabar 
dan tidak perlu terus dikembangkan agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang bersifat penalaran 
atau pengamalan tanpa dasar syari¶at. 
4. Dalam bidang hukum yang telah memunculkan berbagai pranata sosial, budaya dan politik, 
seperti lembaga peradilan, perkawinan, wakaf, negara dan mu¶amalah perlu terus dikembangkan 
karena melihat sifat dari hukum atau fiqih itu yang terikat oleh situasi dan kondisi sosial- 
kemasyarakatan, geografis dan demografis serta perkembangan ilmu dan teknologi yang secara 
tidak langsung telah memberikan dampak positif dan negatif yang perlu dengan segera mendapat 
pemecahan. AKIBAT-AKIBAT DAN PREDIKSI PEMIKIRAN ISLAM 
1. Dalam Bidang Filsafat mengakibatkan tumbuhnya sikap kritis di kalangan ummat Islam dan 
pemahaman yang seksama terhadap ajaran Islam. Sehingga ajaran Islam tidak dilihat sebagai 
sesuatu yang formalistik tetapi menjadi lebih bermakna dan mampu menangkap hikmah serta inti 
dari ajaran Islam itu sendiri. Hanya saja sikap pro dan kontra terhadap filsafat sebagaimana 
terjadi pada masa lampau hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana, sehingga filsafat 
ditempatkan pada proporsi yang benar sebagai pisau analisa ajaran Islam. Dan kiranya kajian 
filsafat tidak terjebak pada kajian sejarah filsafat dan perlu diperkenalkan sejak SLTA. Model 
kajian filsafat seperti M.Amin Abdullah, Otto Horrasowitz, Majid Fakhry, Harun Nasution, 
Ahmad Fu¶ad al-Ahwani, dan Juhaya S.Praja perlu terus dikembangkan, sehingga filsafat Islam 
mempunyai bentuknya yang utuh. 
2. Dalam bidang kalam, yang telah melahirkan banyak aliran telah menjerumuskan kita pada 
kajian masa lalu yang banyak dipengaruhi oleh politik dan fanatisme. Masa kini dan masa 
mendatang dengan telah dipahaminya metode berpikir setiap aliran, kiranya kajian kalam akan 
lebih murni dan bebas fanatik. Kajian kalam yang telah dilaksanakan oleh ulama dulu dapat 
dijadikan model untuk kajian mendatang, baik pada obyek materialnya maupun pada objek 
formalnya. Kajian sejarah aliran dan perbandingannya juga dapat dijadikan salah satu tangga 
untuk mencapai kesempurnaan dengan dapat disimpulkannya kelebihan dan kekurangan masing- 
masing aliran. Sehingga harapan Islam yang satu, ummat yang satu dan tercapai. 
3. Dalam bidang tasawuf yang telah melahirkan tarekat sebagai organisasi sufi hendaknya tidak 
membawa ummat kepada saling mengklaim, bahwa tarekatnya yang paling benar dan mampu 
membawa kepada Tuhan, tetapi dapat dijadikan sebagai khazanah ummat Islam dalam upayanya 
untuk selalu ingin sedekat mungkin dengan Tuhan, walaupun kajian kritis, mana yang mu¶tabar 
dan tidak perlu terus dikembangkan agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang bersifat penalaran 
atau pengamalan tanpa dasar syari¶at. 
4. Dalam bidang hukum yang telah memunculkan berbagai pranata sosial, budaya dan politik, 
seperti lembaga peradilan, perkawinan, wakaf, negara dan mu¶amalah perlu terus dikembangkan 
karena melihat sifat dari hukum atau fiqih itu yang terikat oleh situasi dan kondisi sosial- 
kemasyarakatan, geografis dan demografis serta perkembangan ilmu dan teknologi yang secara 
tidak langsung telah memberikan dampak positif dan negatif yang perlu dengan segera mendapat 
pemecahan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar