Selasa, 02 Agustus 2011

Sejarah Islam Tanah Jawa

Sejarah Islam Tanah Jawa (1)
12 Des
Situasi Tanah Jawa Awal Abad ke-15
Seorang Muslim Cina yang mengikuti perjalanan ke-7 Laksamana Cheng Ho ke Jawa yang berlangsung antara tahun 1431- 1433 M menuturkan tentang situasi perilaku sosial masyarakat Jawa saat itu, bahwa di Jawa ketika itu terdapat tiga golongan penduduk.
Golongan yang pertama adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih serta pantas. Golongan kedua adalah orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Pakaian dan makanan mereka baik dan banyak di antara mereka yang sudah masuk Islam serta taat melaksanakan amal ibadahnya. Sedangkan golongan ketiga adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, kaki telanjang dan mereka sangat memuja roh.
Kebangkrutan Majapahit
Episode sejarah tanah Jawa mulai kurun awal masehi sampai abad ke-15 adalah episode tumbuh dan jatuhnya kekuasaan kerajaan-kerajaan yang didominasi oleh keyakinan hindis dan budhis. Ideologisasi jawanisme ditandai dengan munculnya tokoh penuh ambisi politik dan kekuasaan yang bernama Ken Arok. Dia dari seorang biasa menjadi raja yang menguasai Singosari-Kediri. Ambisi Ken Arok yang menghalalkan segala cara untuk menduduki singgasana kerajaan melahirkan “karma” Mpu Gandring bahwa keserakahan kekuasaan akan membawa pada kebangkrutan dan kehancuran. Pada kenyataannya kejayaan Singosari tergantikan oleh kekuasaan Majapahit yang dirintis oleh Raden Wijaya mantan Senapati Singosari. Singosari Sirna Ing Bumi.
Dominasi tanah Jawa dilanjutkan oleh dinasti Raden Wijaya  dalam kekuasan kerajaan Majapahit, dominasi Majapahit di tanah Jawa dimulai pada masa Tribuanatungga Dewi (1328- 1350) dan puncak kemegahan kerajaan Majapahit tercapai pada zaman kekuasaan prabu Hayam Wuruk (1350 – 1389). Dibawah pimpinan patih amangku bumi Gajah Mada sejak pemerintahan Tribuana, tahun 1336 timbul gagasan untuk memperluas wilayah Nusantara di bawah kepemimpinan Majapahit. Patih Gajah Mada mengumumkan program politiknya yang dikenal dengan sebutan “Sumpah Nusantara” atau “ Sumpah Palapa”. Diantara sumpahnya berbunyi : “Lamun huwus kalah nusantara, insun amukti palapa” artinya “ kalau nusantara telah tunduk, saya baru akan istirahat”. Pada tahun 1339, Adityawarman ditugaskan oleh Majapahit untuk memimpin pasukan melakukan ekspansi ke Sumatera. Tentara Majapahit berhasil merebut kesultanan Kuntu/Kampar, kerajaan Haru, kerajaan Batak/Karo, kesultanan Aru/Baruman (semua di wilayah  Jambi, Palembang, Toba, Kampar dll di Sumatera), tetapi ekspedisi Majapahit dipimpin Gajah Mada untuk melakukan penyerbuan ke wilayah Sumatera Utara yang saat itu telah berdiri Negara Islam Samudera Pasai ternyata gagal. Selanjutnya tidak banyak cerita apakah ekspansi juga di lakukan ke wilayah lain di Nusantara seperti Kalimantan dan Sulawesi. Artinya Majapahit sebenarnya tidak pernah menguasai seluruh Nusantara.
Setelah patih Gajah Mada meninggal tahun 1364, sejarah Majapahit mulai suram, kebesarannya mulai pudar. Realisasi gagasan Nusantara yang dilakukan dengan susah payah dan berkat jerih payah Gajah Mada yang memberikan kegemilangan kepada Majapahit mulai layu. Prabu Hayam Wuruk dan para patihnya tidak mampu membina keagungan Majapahit. Lambat-laun kesatuan Nusantara itu pecah berantakan, akibat perebutan kekuasaan antara para ahli waris kerajaan dan perongrongan dari luar.
Awal tahun 1400-an terjadi perang antara Majapahit dengan Blambangan hampir dua tahun terus menerus, perang ini disebut dengan perang Paregreg. Perang perebutan hak kekuasaan antara putra mahkota dengan putra dari selir yang menyebabkan disintegrasinya Negara Kasatuan Republik Majapahit buatan Perdana Menteri Gajah Mada.
Kebangkrutan yang berakhir dengan keruntuhan Majapahit bukan saja dalam persoalan politik kekuasaan, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Situasi sosio politik tanah Jawa yang didominasi Kerajaan Majapahit telah mengalami kemunduran yang sangat drastis, diantaranya disebabkan :
Pertama, sejak terjadinya perang paregreg, keberadaan Majapahit sebagai negara maritim mengalami kemunduran, armada Majapahit tidak lagi efektif untuk di gerakan ke wilayah-wilayah di luar pulau Jawa.
Kedua, kekuasaan Majapahit sudah kehilangan pengaruh di luar Jawa. Ini terbukti dengan terbaginya inti kekuasaan menjadi sembilan wilayah protorat dengan pusat kerajaan di Trowulan. Sembilan wilayah kekuasaan Majapahit itu adalah Kahuripan, Daha, Wengker, Lasem, Matahun, Pajang, Pamanahan, Wirabhumi dan Trowulan.
Ketiga, tumbuhnya kekuatan baru dari para pedagang muslim yang menggantikan kedudukan para pedagang non-muslim. Para pedagang muslim ini memberikan kontribusi bagi terbentuknya komunitas muslim yang kondusif di wilayah-wilayah seperti Gresik, Demak, Jepara, Tuban yang dikembangkan oleh para wali.
Keempat, Falsafah Linggaisme sebagai hasil Singkretis agama Syiwa-Budha yang terpengaruh oleh ajaran Yoga-Tantra dari sekte Sachta berkembang luas di kawasan pedalaman, telah merusak pranata sosial. Gambaran Ajaran Yoga-Tantra yaitu Ma-lima, ia harus memakan lauk pauk dari daging (Mamsha) dan ikan (Matsya), sesudah itu minum-minuman keras (Madya)   sampai mabuk, dalam keadaan mabuk itulah orang harus bersetubuh (Maithuna), setelah nafsunya terlampiaskan, seterusnya kemudian ia melakukan semedi (mudra). Para penganut Yoga-Tantra meyakini dengan cara demikianlah mereka akan memperoleh kesaktian-kesaktian.
Dalam situasi kebangkrutan Majapahit inilah timbul secercah fajar dari timur yang bukan hanya memberikan harapan baru tetapi kenyataan hidup yang labih baik……. (bersambung)





Sejarah Islam Tanah Jawa (2)
12 Des
Lanjutan….
Dakwah Islam di Tanah Jawa
Pada 1258, kota Baghdad yang selama lima abad menjadi pusat peradaban Islam dibawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah ditaklukan oleh bangsa Tartar, Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, kekuasaan Islam Baghdad digantikan oleh Dinasti Mongolia yang beragama Kristen Nestoria. Hal ini yang menyebabkan kepemimpinan Islam bergeser di tangan para Ulama. Para Ulama kemudian bergerak keluar kota Baghdad menuju wilayah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, diantara mereka banyak yang menjadi Saudagar Islam. Daerah Turkestan, Bokhara dan Samarakand adalah pusat perkembangan Islam (Maulana Malik Ibrahim berasal dari Samarakand). Pada masa ini terjadi kelahiran ulama-ulama terkenal diantaranya Imam Bukhori dari Samarakand. Persilangan pernikahan antara keturunan Arab, Cina dengan India telah menjadikan “kerumitan” sejarah dalam menentukan asal-muasal Islam datang ke Indonesia. “Teori Arab” merujuk kepada diantara silsilah para wali dari jalur laki-laki yang menunjukan Trah Nabi Muhammad SAW, sementara “Teori Cina” merujuk kepada silsilah para wali dari garis perempuan.
Meskipun sejak tahun 674 M, di Pantai Barat Sumatera sudah ada koloni-koloni saudagar yang berasal dari negeri Arab, meningkatnya keramaian perdagangan di pelabuhan-pelabuhan pesisir pantai Sumatera dan Jawa terjadi pada kurun abad ke-13 dan 14. Sejalan dengan itu, abad ke-13 dalam sejarah Islam di Indonesia merupakan gelombang kedua dari dakwah Islam yang telah pelopori sebelumnya pada pada abad ke-7 atau masa Khalifah Rasyidiyah.
Intensitas dakwah Islam di tanah Jawa, memiliki beberapa fase perkembangan dinataranya;
Pertama, Dakwah Islam dilakukan oleh para pedagang Muslim dari Arab, India dan Cina kepada komunitas masyarakat biasa di pesisir utara pantai Jawa.
Kedua, Dakwah Islam dilakukan secara Akseleratif oleh para Ulama yang terkenal dengan sebutan “Wali Sanga”.
Ketiga, Dakwah yang dilakukan secara Institusional oleh Negara Islam yaitu Negara Islam Demak dan Negara Islam Cirebon. Kedua negara ini berhasil meluluh lantahkan dua kerajaan yang dominan yaitu Majapahit dan Padjadjaran (Sunda dan Galuh).

Maulana Magribi Da’i Pelopor di Tanah Jawa
12 Des
Pada batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim terdapat inskripsi sebagai berikut : “ Inilah makam Almarhum Al-Maghfur yang mengharap rahmat Allah, kebanggaan pangeran-pangeran, sendi sultan dan menteri-menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol agama dan negara, Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama Kaki Bantal, Allah meliputinya dengan rahmat dan keridhaan-Nya, dan dimasukan ke dalam Syurga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun 822 H” (Sajed Alwi, 1957). Inskripsi ini memberikan tanda terhadap kiprah Sunan Maulana Malik Ibrahim sebagai Utusan Allah di Tanah Jawa yang menghantarkan kepada terbentuknya Kerajaan Islam Tanah Jawa yang beribukota di Demak sebagai Madinah-Jawa.
Dikalangan Wali Sanga, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling populer dan senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal-usul Syekh Magribi, sebutan lain dari Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat. Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja). Maulana Malik Ibrahim bisa disebut sebagai bapaknya para Wali.
Wali Sanga berarti sembilan orang wali. Nama suatu Dewan Dakwah yang selanjutnya merupakan Majelis Syuro di Kesultanan Demak pada abad ke-15 sampai 16 M. Sebenarnya jumlah para wali bukan sembilan, tetapi jika ada anggota yang meninggal dunia, maka diganti dengan wali yang baru. Angka sanga atau sembilan bagi orang Jawa, adalah angka yang dianggap paling tinggi. Majelis Syuro itu dibuat sembilan, angka yang ganjil diduga dengan maksud apabila ada voting dalam menentukan suatu fatwa tidak terjadi kesamaan suara, sehingga keputusan syuro mudah diambil.
Diantara Wali Sanga yang terkenal di kalangan masyarakat sampai sekarang adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterikatan yang erat baik dalam ikatan darah nasab terutama ikatan aqidah dengan hubungan guru – murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga adalah sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan lain kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di Pantai Utara Jawa dai awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting poros Jawa yakni Surabaya – Gresik – Lamongan di Jawa Timur, Demak – Muria – Kudus – di Jawa Tengah, serta Cirebon – Banten di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai peradaban baru : mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan dan yang paling pokok memberikan tonggak pada sistem pemerintahan Islam yang menggantikan sistem pemerintahan hindis dan budhis.
Era Wali Sanga adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan Kebudayaan Islam. Wali Sanga adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Orientasi perjuangan Wali Sanga adalah Idharul Islam yang melahirkan tatanan sosial politik baru yaitu tatanan sosial politik Islam dengan berdirinya Kerajaan Islam di Tanah Jawa.
Sebelum datangnya Maulana Malik Ibrahim di Gresik, di Tanah Jawa sudah banyak perkampungan Islam, terutama di daerah Leran. Akan tetapi belum berkembang secara besar-besaran. Baru sejak kedatangan Maulana Malik Ibrahim, Islam di Gresik khususnya tumbuh berkembang bagaikan cendawan di musim hujan. Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik sejak 1401 M (ada yang menyebutkan 1404 M), di Gresik, Maulana Malik Ibrahim merasa perlu membuat bangunan tempat menimba Ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Dalam mendakwahkan Islam, Syekh Maulana Magribi berdakwah dengan cara diplomasi yang ulung yang bisa diterima oleh akal pikiran masyarakat. Dalam mengajarkan ilmu Syekh Maulana Magribi memiliki kebiasaan yang khas yaitu meletakan Al-Qur’an atau kitab Hadist di atas bantal, karena itu ia kemudian dijuluki “Kakek Bantal”. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M.

”Dalam legenda yang beredar di Pulau Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Arab, untuk menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya telah gagal secara makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan gagal. Maka diutuslah Syeh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan membawa batu hitam yang dipasang di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syeh Subakirlah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “ Walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku ingat itu wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syeh Subakir. Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”.
{Walijo dot Com} Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam riwayat lain berasal dari Rum). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang  diutus oleh  Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey,  untuk berdakwah di  pulau Jawa pada tahun 1404,  mereka  diantaranya:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat.

Kami sedikit sekali menemukan sejarah dari Syeh Subakir, jika Anda memiliki informasi lebih silahkan di tambahkan, Terima kasih.







Legenda Gunung Tidar Magelang
Imam Mawardi Rz

Keberadaan daerah Magelang terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu dongeng yang hidup dikalangan rakyat mengisahkan --sebagaimana dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)-- bahwa pada zaman dahulu kala, ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut senantiasa bergerak kesana kemari. Seorang dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar berhenti bergerak. Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tidar. Gunung yang terletak di pinggir selatan kota Magelang yang kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau Jawa tersebut memang berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai “pakuning tanah jawa”.

Dongeng lain yang tentunya diciptakan setelah masuknya Islam mengisahkan bahwa pada zaman dahulu daerah ini merupakan kerajaan jin yang diperintah oleh dua raksasa. Syekh Subakir, seorang penyebar agama Islam, datang ke daerah ini untuk berdakwah. Tidak rela atas kedatangan Syekh tersebut terjadilah perkelahian antara raja Jin melawan sang Syekh. Ternyata Raja Jin dapat dikalahkan oleh Syekh Subakir. Raja Jin dan istrinya kemudian melarikan diri ke Laut Selatan bergabung dengan Nyai Rara Kidul yang merajai laut Selatan. Sebelum lari Raja Jin bersumpah akan kembali ke Gunung Tidar kecuali rakyat didaerah ini rela menjadi pengikut Syekh Subakir.

Legenda ini sangat melekat bagi masyarakat tradisional Jawa, tidak sekedar di Magelang, tapi juga ke daerah-daerah lain di Jawa, bahkan sampai di Lampung dan mancanegara (Suriname). Hal ini karena telah disebutkan dalam jangka Joyoboyo dan mengalir secara tutur tinular menjadi kepercayaan masyarakat. Apalagi pemerintah kota Magelang menjadikan Tidar sebagai simbol atau maskot daerah dengan menempatkan gunung Tidar yang dilambangkan dengan gambar paku di dalam logo pemerintahan. Di samping itu nama-nama tempat begitu banyak menggunakan nama Tidar, seperti nama Rumah Sakit Umum Daerah, nama perguruan tinggi, nama terminal dll. Yang semuanya menguatkan gunung Tidar menjadi legenda abadi.









serat jongko syekh subakir

PUPUH I
ASMARANDANA
– 01 –
Karya penget genya nulis, supadya dadya tututunan, mring weka kadang wargane, tuwin antuka kang rahmat, timbang nganggur klekaran, becik ngleluri leluhur, caritane jaman kuna.
– 02 –
Sejarah para Narpati, kang mengku rat nata praja, tanah Jawa sedaya, mugi paringa nugraha, marang para kawula, tinebihna ing bebendu, kalawan ing ila-ila.
– 03 –
Mangkana purwani nguni, saka ing Kitab Musarar, binabar tembung Jawine, wiwit alam babu alam, dumugining kiyamat, pan saleksa wolung atus, donya lamine gumelar.
– 04 –
Jamane limang prakawis, kang dihin Ingaranan Tirta, nulya Karta kapindone, Dupara kaping telunya, Kaliyup ping sekawan, jangkep kaping limanipun, winastan jaman Sengara.
– 05 –
Tirta jaman ingkang dihin, saleksa warsa laminya, Karta kapindo jamane, namung wolung ewu warsa, ganti jaman Dupara mung nem ewu kawan atus, langkung sangangdasa warsa.
– 06 –
Jaman Kaliyup gumanti, para Mukminkas angira, kalih ewu warsa maneh, lawan sagangatus warsa, ganti jaman Sengara nenggih wawatesan umur, namung kalih ewu warsa.
– 07 –
Lalanjon titahing Widi, laminipun kalih leksa, sangang ewu ing taune, kalanira Nabiyullah, taksih munggwing suwarga, Malekat bangsanipun, sagung para Malekat.
– 08 –
Sami wonten ing Rochani, datan wonten kenging pejah, luput duraka sakehe, datan wonten nadah nendra, lan sagung titahing Hyang, wignya ngucap lir jalmeku, tumut langgeng lir manungsa.
– 09 –
Lembu ingkang nyangga bumi, isih sekawan sukunya, pramana ati enggone, Nabi ADAM munggwing swarga, lamine satus warsa, wohing kuldi kang tinunggu, Babu Kawa rowangira.
– 10 –
Kadukan marang Hyang Widi, tinurunaken mring donya, tanpa sandang sarirane, anuju wulan Mucharam, ing tahun Alip ika, tanah Arab kang jinujug, amanggih kayu satunggal.
– 11 –
Den wastani kayu tanjir, dadya sandang salaminya, nulya panggih lan garwane, cinarita salin jaman, ingaran jaman Karta, nenggih wolung ewu tahun, dahar sapisan sawulan.
– 12 –
Samana kalane wiwit, manungsa kena durhaka, kena pati saturute, sagunging wong darbe manah, duwure randuwara, ora kurang depa satus, lembu sukune mung tiga.
– 13 –
Marmanira ana daging, lumrah manungsa kuwasa, nuli salin jaman maneh, gumanti aran Dupara, alam Nabi samana, lumrah manungsa punika, mangan ping kalih sawulan.
– 14 –
Gegaman mung tigang warni, panah pedang lawan gada, isih kuwasa punang wong, kono mari ararasan, wong donya lan wong kerat, randuwana duwuripun, amung kari satus depa.
– 15 –
Lembu ingkang nyangga bumi, atinggal kalih sukunya, marmane getih enggone, limang ewu warsa gantya, anulya salin alam, jaman wali kang sumuyut, alame wali sadaya.
– 16 –
Jaman wali kaping kalih, Mukmin Ngamya wastanira, sadasa dina dahare, de Wali ingkang taksih kas, dahar pindo sawulan, Wali ingkang apes iku, dahar ping kalih sadina.
– 17 –
Lembu ingkang nyangga bumi, sukune kantung satunggal, premana neng kulit gone, duwure kang randuwana, kari salawe depa, keneng duraka wong iku, paes katemenanira.
– 18 –
Gagaman mawarni-warni, keris towok lawan tumbak, tigang ewu warsa maneh, asalin jaman Sengara, alame Mukmin ika, Mukmin Ngam ing lampahipun, rina wengi amemangan.
– 19 –
Datan wonten tuwukneki, lumrah wong akekadangan, premanane suket rondon, duwure kayu wus suda, mung kalih dasa depa, ingkang nyangga bumi rubuh, sukune sirna sadaya.
– 20 –
Apan taksih nyangga bumi, gara-gara agung prapta, bumi wus sirna brekate, suda wiranging pandita, kapundut mring Hyang Sukma, ilang adile Sang Prabu, wanita keh laden priya.
– 21 –
Kawula lali maring Dusti, Gusti lali mring awula, fakir lali agamane, wong agung katah kahinan, wong cilik keh dursila, lali bapa lawan guru, ilang sihe wong kekadang.
– 22 –
Gegamane amepegi, barang cipta dadi gaman, patine lawan gamane, wewah kestul lan senjata, mariyem lan kala kunta, lumrah keh wong ambeg rusuh, akeh wong wedi melarat.
– 23 –
Sinung ayat sewu warsi, nenggih alame Sengara, nuli sinalin alame, bali marang Tirta, ratune Waliyullah, satus tahun laminipun, anumpak ari kiyamat.
– 24 –
Sasampunira kapanggih, lawase neng alam donya, marang Kang MurbengUripe, anenggih mung tigang leksa, tri ewu satus warsa, punika langkung ta ingkang kantun, wus parek ari kiyamat.
– 25 –
Yen wus prapta satus warsi, mati wiji kang tumitah, warata ing jagad kabeh, tan wonten tiyang anak-anak, tan wonten jawah niba, wus ginaib mring Hyang Agung, tan wikan ari kiyamat.
– 26 –
Wonten crita kang tinulis, tumrap tanah Jawa, aking Arab pinangkane, gancare ing pulo Jawa, duk taksih dadya wana, peteng alas gung asamun, ambelasah roning kamal.
PUPUH II
S I N O M
– 01 –
Purwane kang ginupita, duk suwunge tanah Jawi, taksih wana langkung pringga, isina amung dedemit, pari prayangan lan jim, miwah sagunging lelembut, kalawan brekasakan, gandarwo lan banaspati, ilu-ilu janggitan lawan kemamang.
– 02 –
Anenggih kang kawuwusa, jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi, anenggih Sultan ing Ngerum, nimbali patihira, prapteng ngarsa awotsari, Sang Aprabu alon denira ngandika.
– 03 –
Heh Patih Ingsun tatanya, marang sira kang sayekti, wartane ing Pulo Jawa, apa sira wus udani, kabare taksih sepi, durung isi manungseku, pan isih dadi wana, Kyana Patih atur bekti, inggih Gusti dereng isi kang manungsa.
– 04 –
Rembage para nangkoda, Gusti kang sampu udani, ingkang layar tanah Jawa, tan wonten ingkang nglangkungi, wartanipun anenggih, ageng-ageng hardinipun, pilo mujur mangetan, sakilene pulo Bali, Sri Nalendra alon wijiling wacna.
– 05 –
Heh Patih sira mepaka, wong rong leksa somah aglis, tanduren ing pulo Jawa, dimen pada gaga sabin, sandika Kyana Patih, menembah lumengser gupuh, samekta lajeng bidal, wong rong leksa somah prapti ing muwana kamot ingemot baita.
– 06 –
ing marga datan winarna, gancare carita nenggih, janma kang rong leksa somah, pinrenahken pulo Jawi, Kya Patih wangsul nuli wus prapta nagari Ngerum, matur rehning dinuta, purwa madya amekasi, Sri Narendra kalangkung sukeng wardaya.
– 07 –
Wus kalayan karsa Nata, yata kang kocapa mangkin, janma kang samya tinilar, aneng jroning pulo Jawi, binadog ing dedemit, meh telas pan amung kantun, sakawan dasa somah, giris manahira sami, lajeng layar mantuk mring Ngerum Negara.
– 08 –
Wus prapta Ngerum nagara, lajeng katur Kyana Patih, nulya konjuk Sri Narendra, yen janma rong leksa nguni, somah pan namung kari, kawandasa somahipun, dene prikancanira, binadog para dedemit, duk miyarsa jeng Sultan ngungun ing driya.
– 09 –
Puwara renge ngandika, timbalana Sech Subakir, tan anatara prapteng ngarsa, ngandika Sri Narapati, bapa sira sun tuding, layar mring pulo Jaweku, sira masanga tumbal kang hardi-hardi, dimen lunga lelembute pulo Jawa.
– 10 –
Wong keling sira angkatna, prenahno ing pulo Jawi, semektowa gagawanya, nuli angkatna den aglis, layar mring pulo Jawi, sira patih aja kantun, Sech Bakir aturira, sandika pamit wot sari, wusnya beber layar dateng tanah Arab.
– 11 –
Wus prapta ing Keling praja, dawuhaken amundut janmi, rong leksa somah katahnya, laju layar pulo Jawi, Sech Bakir kang winarni, ing marga datan wuwus, anjujug hardi Tidar tumbal pinasang tumuli, awarata pucuking hardi sadaya.
– 12 –
Gya jumegur swaranira, gara-gara andatengi, gumelar gora prahara, teja lawan obar abir, peteng mendung nglimputi, geger sagunging lelembut, jin setan brekasakan, sami lunayu anggendring, ilu ilu banaspati lan kemamang.
– 13 –
Wewe peri prayangan, angebyur marang jaladri, gandarwa gandarwa mlayu sarsaran, tetekan keblak memedi, sedaya samya ngungsi, tan kawawa panasipun, gantiya kang winursita, pan wonten danyang kakalih, gih punika tetuwane brekasakan.
– 14 –
Sang Hyang Semar aranira, lawan Danyang Togog nenggih, dedukuh wonten ing wana, prenah pucuking kang wukir, Merbabu ingkang hardi, samana kekalihipun, samya ajejagongan, ginenira ting kalesik, Sang Hyang Semar kagyat denira miyarsa.
– 15 –
Sang Hyang Semar lon wuwusnya, kiraka wonten punapi, sagung demit kagegeran, gara-gara apa iki, bumi agonjang-ganjing, prakempa asindung riwut, bayu braja liweran, kilon geter obar-abir, gumaleger swaraning kang punang harga.
– 16 –
Daweg kiraka jarwaha, de gara-gara kagiri, prabawa apa ta ika, Danyang Togog awawarti, yen sira tan udani, iki ana Resi Ngerum, prapta ing pulo Jawa, arsa ngrabaseng dedemit, pirantinya pinasang sakeh haldaka.
– 17 –
Yeng mangkana daweg enggal, manggihi lawan Sang Resi, utusana Sri Narendra, Ngerum ingkang nundung demit, pada atakon warti, baya ana karsanipun, dene kagila-gila, karya gegering kang demit, Sang Hyang Semar sumaur ya bener sira.
– 18 –
Danyang Togog malih ngucap, ya age adi prayogi, aywa kongsi kalayatan, kiraku payo den gelis, anulya pangkat sami, wus prapta panggih Sang Wiku, ana ing ardi Tidar, tuwan Sech Bakir ningali, ing praptane kalihira ta pa sangkan.
– 19 –
Sech Bakir alon tatanya, ki sanak dika ing pundi, manira nembe tumingal, dateng pakenira kalih, sira harsa punapi, dene prapta ngarsaningsun, Sang Hyang Semar saurnya, inggih kula tiyang Jawi, dika prapta punapa ing karsanira.
– 20 –
Sech Bakir wau ngandika, wartane ing pulo jawi, pan durung ana manungsa sadaya isih wanadri, sepi ulun tingali, karsane Jeng Sultan Ngerum, ing mangke winijenan, rong leksa somah kang janmi, dimen harja sami kinen asesawah.
– 21 –
Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka.
– 22 –
Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Sech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat.
– 23 –
Lamun janma durung ana, kang umur saleksa warsi, Sang Hyang Semar saurira, yeku kawula puniki, pan inggih dede janmi, danyang tanah Jawa ingsun, danyang sepuh priyangga, titise Jeng Kawa Dewi, kang jejuluk Sang Hyang Maya inggih kula.
– 24 –
Sang Hyang Sis inggih kawula, Sang Srinata inggih mami, Durgulowya inggih kula, Sang Hyang Wenang inggih mami, Joyokusumo tuwin, Joko Panduduk nggih ulun, Tuwawana gih kula, Manikmaya inggih mami, inggih kula ingkang paparab Sang Hyang Semar.
– 25 –
Wonten ngriki wiwit kuna, duk Ibu Kawa rumiyin, nglunturaken rasa mulya, tinadahan mring Ijajil, cinipta rama nguni, den wor lawan kamanipun, anulya dadya kula, lamun dika dereng ngreti, gih punika gancare badab kawula.
– 26 –
Sawarnane para dewa, sadaya gih darah mami, lan para danyang sedaya, tanah Sabrang miwah Jawi, sadaya turun mami, miwah sagunging lelembut, inggih turun kawula, jim prayangan lawan peri, ilu-ilu sadaya anak manira.
– 27 –
Dene kiraka punika, titise Siti Sendari, sun karya kadang ngong tuwa, dedukuh wonten ing Jawi, milane kula mriki, panggih lawan dika wau nyuwun taken pawarta, dateng andika sayekti, punapa ta andika angrusak Praja.
– 28 –
Sadaya nak putu kula, pra samya bingung angungsi, kenging tenung taragnyana, andika ingkang masangi, ngungsi marang jaladri sadaya para lelembut, Sech Bakir alon mojar, kula punika kiai, pan dinuta jeng Sultan Ngerum negara.
– 29 –
Apan kinen ngisenana, janma pulo Jawa ngriki, dimene tangkar-tumangkar, reja ambubak wanadri, kang sun prenahaken iki, wong Keling nagaranipun, cacah rong leksa somah, iku karsane Hyang Widi, boten kena yen dika amalangana.
– 30 –
Sang Hyang Semar saurira, sokur jumurung saketi, yen karsane Sri Narendra, ing Rum dawuhing Hyang Widi, kadawuhan ngiseni, ing pulo Jawa puniku, kinen ambubak wana, nanging ta panyuwun mami, inggih kula tumuta ngadani Jawa.
– 31 –
Sech Bakir alon ngadika, kisanak kula tuturi, karsane Hyang Maha Mulya, lalakone Jawa benjing, winates ing Hyang Widi, rong ewu lan satus taun, pan nuli sirna, wiwit saking taun iki, satus taun durung ratu ora praja.
– 32 –
Iku karsaning Hyang Sukma, tataning wong kadi peksi, yen wus jangkep satus warsa, lawan punjul seket siji, Hyang Sukma karya Aji, ing Gilingwesi Kedatun, lawan ing Panataran, niku wiwite Narpati, ajejuluk Maharaja Selaprawata.
– 33 –
Andika ingkang ngemonga, dika awor lawan janmi, nalikanira Sang Nata, ratu ingkang nata janmi, satus warsa ingkang benjing, Gilingwesi sirnanipun, wiwite jaman Buda, nayebut ratune sami, pangucape tan liya Dewa Batara.
– 34 –
Sirnane Selaprawata, nulia karsane Hyang Widi, akarya alih Nerendra, titise Hyang Wisnumurti, ngedaton Mendangkawit, satus taun sirnanipun, Hyang Sukma nuli nitag ratu agung ambawani, sakembaran bala banta lan wanara.
– 35 –
Siji ngadaton Ngalengka, abala sagung raseksi, ing Pancawati sajuga, titise Hyang Wisnumurti, bala wanara benjing, paramarta ratunipun, Kyahi Togog sira, angemonga sira benjing, kang jumeneng ratu Ngalengkadiraja.
– 36 –
Besuk rusake ngalengka, tumpes tapis datan kari, amung pitung puluh warsa, sirnane karatoneki, Hyang Sukma nitah malih, ratu binatara agung, ngadatong ing Wirata, lawan Maduran agrai, seket warsa karatone nuli sirna.
– 37 –
Hyang Sukma anulya nitah, karatone Ngastina benjing, Ngamarta pudak sategal, lawan Ngawu-ngawu langit, lawan ing Dwarawati, poma Kyai iku besuk, poma dika emonga, watese sawiji-wiji, satus taun sirnane karaton benjang.
– 38 –
Iku karsane Hyang Sukma, sirnane karaton benjing, pada aprang lawan kadang, awite rebut nagari, minangka penget Kyai, kang jumeneng ratu besuk, sirnane campuh aprang, nulya karsane Hyang Widi, Mlawapati kalawan Bojonegara.
– 39 –
Iku pada turunira, Sang Hyang Wisnu ingkang nitis, ananging ta wekas ingwang, marang andika Kiyahi, alame ratu kalih, awyandika emong besuk, andika wangsul dewa, watesane satus warsi, nuli sirna Hyang Sukma akarya Nata.
– 40 –
Kekuta ing Galuh benjang, laminira seket warsi, sirnane Gakuh nagara Hyang Sukma anitah malih, ratu Sindula nagri, mung sawidak taun besuk, nuli ana Narendra, ing Medangkamulan nagri, ratu iku amangsa pada manungsa.
– 41 –
Patangpuluh taun sirna, ratu pandita gumanti, saking Arab pinangkanya, Ajisoko Sango Aji, pinanjingan ing eblis, ratune ijajil besuk, angaggit sastra Jawa, pan iku kang den leluri, aywandika emong ing sapungkurira.
PUPUH III
PA N G K U R
– 01–
Mung sawidak taun sirna, sang Hyang Sukma anitah ratu malih, sang Prabu Maha punggung, papatih, Jugulmuda angada-on neng sukuning hardi Lawu, karsa pranataning praja, medal adiling Narpati.
– 02 –
Satus taun nuli sirna, Sang Hyang Sukma anitah ratu malih, Kauripan nagrinipun, satus taun wus sirna, turun telu jejege karatonipun, nuli karsaning Hyang Sukma, nitahaken ratu malih.
– 03 –
Sakawan kang dadya raja, akekuta Jenggala lan Kadiri, Ngurawan lan Singasantun, niku andika monga, ngawulaha satuhu andika besuk, andika siliha aran, Ki Prasonto aprayogi.
– 04 –
Ki Togog dika arana, Ki Jarudeh ing benjing iku becik, titising Batara Wisnu, poma ywa kongsi pisah, pan jumeneng ing Jenggala prajanipun, wasta Panji Rawisrengga, digdaya prawireng jurit.
– 05 –
Satus taun nuli sirna, karsaning Hyang nitahaken ratu malih, Pajajaran kutanipun, pindah saking Jenggala, satus taun sirnane karatonipun, pan kongsi turun ping tiga, rusake lawan kang siwi.
– 06 –
Yaiku wekas manira, pan ing kono awora demit malih, mariya amomong ratu, iku karsaning Sukma, dika kinen awor lawan anak putu, andika dukuha benjang, sukunira hardi kendil.
– 07 –
Andika ngaliha aran, Ki Rumadi iku luwih prayogi, Ki Togog dika ing besuk, Lodaya dukuhana, dika angaliha aran Ki Barjamos, sirnanira Pajajaran, anulya karsaning Widi.
– 08 –
Ratu Agung adiningprang, akekuta ing nagri Majapahit, satus taun sirnanipun, kongsi turun ping lima, rusakira nagri Majapahit besuk, aprang lawan putranira, nulya karsaning Hyang Widi.
– 09 –
Nitahaken ratu Demak, akeh sagung para Wali nge Jawi, saking tanah Arab iku, pra sami amemulang, nglampahaken sarengatting Kanjeng Rasul, wus sirna jamaning Buda, pra sami agama Suci.
– 10 –
Angrasuk Aagama Islam, manjing marang agama Kanjeng Nabi, Kraton Demak sirnanipun, namung sawidak warsa, punjul papat tetepe etanganipun, nuli karsane Hyang Sukma, nitahaken ratu malih.
– 11 –
Ing Giring kalawan Pajang, Kalajangga jejuluking Narpati, umure salapan taun, sirnane kutanira, apan nuli ana karsane Hayang Agung, nitahaken ratu Mataram, jejuluk Sang Kalasekti.
– 12 –
Digdaya prawireng aprang, aprakosa ngadoni jayeng jurit, ratu sekti sudibya nung, sembada tan apada, iya iku turune pandita luhung, Senapati jajuluknya, para ratu keh kang nagkil.
– 13 –
Sumewa mring tanah Jawa, wiwit iku dumugi ing Matawis, sewu limang atus taun, kutane ing Mataram, kongsi ping pat turunan kang madeg ratu, wangening nagri sirna, nulya karsaning Hyang Widi.
– 14 –
Rusake nagri Mataram, pan binedah wong Makasar lan Bugis, Madura rewang sekutu, lawan putra priyangga, wus alami janji watesaning umur, nulya karsaning Hyang Sukma, nitahaken ratu malih.
– 15 –
Kekuta ing Wanakarta, sakulone kuta Pajang winarni, sugih rowang ratunipun, sirna kratone, laminipun satus tigang dasa taun, tan antara laminira, ana nangkoda datengi.
– 16 –
Rusake ing Kartasura, pan binedah dening wong Cina benjing, nulya karsane Hyang Agung, nitahaken Narendra, angadaton kuloning Mataram iku, siji sawetaning Pajang, wus jamang Sengara benjing.
– 17 –
Wong Jawa akeh pitenah, marang pawong mitranira ing benjing, keh kiyamat mring sadulur, dora-carane katah, lawan suda pemetune bumi besuk, ilang wirange wanita, keh priya etung pawestri.
– 18 –
Setan wus awor manungsa, datan kena kinawruhaken becik, ing jaman Sengara iku, keh anak lali bapa, bapa lali marang anake satuhu, wong mati tukaran katah, akeh wong kanjingan eblis.
– 19 –
Lan akeh musibat prapta, bebendune Hyang Sukma andatengi, gunung muni gumaludug, obah bumi prakempa, lir ginonjing bumi molah gunung jugrug, sol gempal ladu geng prapta, udan awu lawan pasir.
– 20 –
Cleret taun angragancang, oban-abir kilat tatit datengi, akeh wong tukar prang pupuh, akeh mati kobongan, saya lami wuwuh bebendu geng rawuh, musibate tanah Jawa, arang manungsa kang eling.
– 21 –
Akeh wong murka angkara, bocah cilik wis pada etung picis, wong agama saya sengkud, nanging tanpa tatanya, akeh janma pada tinebusan besuk, wong dagang akeh kang tuna, malah pawitane enting.
– 22 –
Keh anjamah pada priya, datan marem jamah marang pawestri, akeh wong kang pada riwut, dursila saya dadra, apa wite kalane wong pada riwut, wong niyat harja katriwal, wong dursila akeh sugih.
– 23 –
Akeh wong maido Kitab, keh wong dora gegampang gawe becik, keh lali marang Hyang Agung, akeh nembah brahala, ana ingkang mangeran marang lelembut, saweneh mangeran arta, ana mangeran Serani.
– 24 –
Kang ngadani tanah Jawa, apa maksih Walanda nguwasani, satus taun laminipun, musibat saya katah, tindak juti dursila saya andarung, nuli marmaning Hyang Sukma, aparing pitulung yrkti.
– 25 –
Anitahaken Narendra, duk timure babaran hardi Srandil, maksih tedak Kanjeng Rasul, ibu darah Mataram, paselongan iya iku wijinipun, angadani tanah Jawa, pan jumeneng Ratu Adil.
– 26 –
Ratu iku luwih mlarat, datan mawi sangu amung sadremi, mung semende mring Hyang Agung, tan ana janma wikan, pan kasandang kasampar-sandung tan weruh, pudak sinumpet punika, timbule kang tunjung putih.
– 27 –
Mungsuh ngarep ekeh sirna, ingkang pada wani samya mati, tumpes tapis sirna larut, balane mung sir’olah, mung kalabang kalajengking gamanipun, Kyai niku waspadakna, dika ladenana benjing.
– 28 –
Bala sagunging lelembat, anjurungi marang Sang Ratu Adil, ana dene kutanipun, alas bumi Ketangga, pan rineka kedatonira Sang Prabu, Juluk Sultan Herucokro, enak atine wong cilik.
– 29 –
Ilang wong kang dora cara, wong dursila ilang pan sirna enting, botoh keh pada kabutuh, awit adil Sang Nata, akeh ngungsi mring masjid pada asujud, eling marang kabecikan, pada dadi santri mursid.
– 30 –
Pajege wong cilik suda, sawah sajung sadinar pajeg neki, winatesan amung sewu, dadya dahar Narendra, datan mundut langkungane saking sewu, ratu iku lumuh arta, blaba asih marang dasih.
– 31 –
Murah sandang murah pangan, keh wong cilik pada suka singgih, iya amung satus taun, jumeneng adil Nata, sasirnane kuta Katangga puniku, nulya ana ratu kembar, iya ana kuta benjing.
– 32 –
Salere hardi Barata, inkang siji kutane iku benjing, ana ing Madura iku, lamine seket warsa, sasirnane Hyang Sukma nitahaken ratu, kekuta Waringin rebah, iya amung sekt warsi.
– 33 –
Waringin rubuh wus sirna, nulya ana ratu gumanti malih, kang sinedya kutanipun, ana ing Baleberan, mung sawidak taun watesane iku, anulya wong Prenggi prapta, angratoni tanah Jawi.
– 34 –
Manungsa Jawa pan katah, den usungi marang nagara Prenggi, sewu sewu saben taun, mung tigang dasa warsa, nulya Kanjeng Sultan ing Ngerum atutulung, patih maju sabalnya, anumpes wong nuswa Prenggi.
– 35 –
Wadya ing Rum yutan wendran, tan petungan layar mring pulo Jawi, ing riku rame prang pupuh, wong Prenggi lebur lebur sirna, tedakira Sang Nata Waringin Rubuh, gya jinunjung dadya raja, kekuta nang Majapahit.
– 36 –
Telung puluh sanga warsa, sampun jangkep watese tanah Jawi, gunung Sumbing nulya jugrug Merapi mubal brama, ing Merbabu swaranira gumaludug, gunung Tidar mubal toya, sirna ilang pulo Jawi.
– 37 –
Wus tutug carisaningwang, ulun arsa wangsul mring Rum nagari, reksanen sapungkur ulun, poma den kalampahan, lah engeta sakehing piweling ulun, aywa nganti manggih papa, wong Keling kinarya wiji.
– 38 –
Sigra bidal Sang Pandita, Sang Hyang Semar ngaterken mring jaladri, Danyang Togog rowangipun, wangsul mring padukuhan, kawarnaha wong rong leksa somah sampun, samya ambabadi wana, tegal gaga miwah sabin.
– 39 –
Sang Hyang Semar dadya lurah, Danyang Togog dadya sor-soraneki, wus awor manungsa iku, sinembah ing wong katah, pan sadaya anurut parentahipun, datan wonten kang suwala, mring parentah hira kalih.
– 40 –
Titi tamating carita, Jayabaya bebere kang linuri, sakiing Kitab mulanipun, Musarar kang carita, ganti ganti kang samya umadeg ratu, lalakone pra Narendra, wates umuring nagari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar