Hadits Ke-22
Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdullah Al-Anshori  rodhiallohu ‘anhu. Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah sholallahu  ‘alaihi wa sallam, “Apa pendapatmu bila aku telah sholat lima waktu, berpuasa  Ramadhan, aku menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram, dan aku  tidak menambah amalan selain itu, apakah aku akan masuk surga?” Nabi  menjawab, “Ya” (HR Muslim)
Masuk Surga
Apabila sebuah amalan dikatakan bahwa pelakunya masuk surga maka maksudnya:
Apabila sebuah amalan dikatakan bahwa pelakunya masuk surga maka maksudnya:
-  Amalan tersebut merupakan sebab masuknya dia ke surga setelah memenuhi seluruh syarat dan ternafikanya seluruh mawani’ (penghalang).
 -  Melakukan amal tersebut dengan dilandasi tauhid.
 
Masuk surga ada dua makna, yaitu:
-  Langsung masuk surga tanpa masuk neraka sama sekali.
 -  Masuk surga setelah sebelumnya masuk neraka.
 
Tidak masuk surga ada dua makna,  yaitu:
-  Tidak masuk surga sama sekali.
 -  Tidak langsung masuk surga.
 
Menghalalkan Yang  Halal Dan Mengharamkan Yang Haram
Menghalalkan yang halal maknanya adalah, meyakini halalnya semua yang dihalalkan Alloh. Termasuk yang dihalalkan Alloh semua yang diwajibkan, yang disunahkan dan yang mubah. Mengharamkan yang haram maknanya adalah, meyakini haramnya semua yang diharamkan Alloh dan meninggalkannya. Dengan demikian barang siapa menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram dengan makna seperti tersebut di atas, dan konsekuen pasti masuk surga.
Menghalalkan yang halal maknanya adalah, meyakini halalnya semua yang dihalalkan Alloh. Termasuk yang dihalalkan Alloh semua yang diwajibkan, yang disunahkan dan yang mubah. Mengharamkan yang haram maknanya adalah, meyakini haramnya semua yang diharamkan Alloh dan meninggalkannya. Dengan demikian barang siapa menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram dengan makna seperti tersebut di atas, dan konsekuen pasti masuk surga.
Hadits Ke-23
Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari  radhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah  bersabda, “Bersuci adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan  memenuhi timbangan, ‘subhanalloh walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit  dan bumi, sholat adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu  merupakan sinar, dan Al Quran itu merupakan hujjah yang akan membela atau  menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal untuk menjual dirinya, maka  sebagian mereka ada yang membebaskannya (dari siksa Alloh) dan sebagian lain ada  yang menjerumuskannya (dalam siksa-Nya).” (HR Muslim)
Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat agung karena kata-katanya sangat menyentuh jiwa. Jiwa yang sehat pasti akan tersentuh dengan hadits ini dan lahirlah ketaatan.
Hadits ini sangat agung karena kata-katanya sangat menyentuh jiwa. Jiwa yang sehat pasti akan tersentuh dengan hadits ini dan lahirlah ketaatan.
Bersuci Adalah Separuh  Iman
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah:
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah:
-  Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
 -  Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.
 
“Alhamdulillah” Memenuhi  Timbangan
“Alhamdulillah” adalah pujian bagi Alloh atas seluruh kesempurnaan-Nya. Alloh terpuji dalam lima hal sebagai berikut :
“Alhamdulillah” adalah pujian bagi Alloh atas seluruh kesempurnaan-Nya. Alloh terpuji dalam lima hal sebagai berikut :
-  Terpuji karena kesempurnaan rububiyah-Nya.
 -  Terpuji karena kesempurnaan uluhiyah-Nya.
 -  Terpuji karena kesempurnaan asma dan sifat-Nya.
 -  Terpuji karena kesempurnaan takdir-Nya.
 -  Terpuji karena kesempurnaan syariat-Nya.
 
“Alhamdulillah” memenuhi timbangan dapat  diartikan dengan dua penafsiran yaitu :
-  Amalan yang lainnya diletakkan dalam timbangan terlebih dahulu kemudian “alhamdulillah”, maka penuhlah timbangan.
 -  ”Alhamdulillah” sebagai pasangan dari “subhanalloh”. Agama sempurna dengan dua hal, itsbat dan tanzih. “Alhamdulillah” merupakan itsbat dan “subhanalloh” merupakan tanzih. Maka jika “subhanAlloh” diletakkan dalam timbangan kemudian baru “alhamdulillah” penuhlah timbangan.
 
Sholat Sebagai Nur, Shodaqoh Sebagai  Burhan dan Sabar Sebagai Dhiya
Nur adalah cahaya yang tidak memancarkan sinar. Burhan adalah cahaya yang memancarkan sinar namun tidak menyengat. Dhiya’ adalah cahaya yang memancarkan sinar yang menyengat, dan membakar.
Nur adalah cahaya yang tidak memancarkan sinar. Burhan adalah cahaya yang memancarkan sinar namun tidak menyengat. Dhiya’ adalah cahaya yang memancarkan sinar yang menyengat, dan membakar.
Sholat dikatakan sebagai  nur karena di dalamnya terdapat ketenangan. Shodaqoh dikatakan sebagai burhan,  karena di dalamnya terdapat keberatan. Sabar dikatakan sebagai dhiya’ karena di  dalamnya terdapat keberatan yang sangat.
Hadits Ke-24
Dari Abu Dzar Al-Ghifari rodhiallohu ‘anhu dari  Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda meriwayatkan firman Alloh ‘azza wa  jalla, bahwa Dia berfirman, “Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya Aku  mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku mengharamkannya pula atas kalian,  maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-hambaKu, kalian semua  tersesat, kecuali orang yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah itu  kepada-Ku, niscaya kuberikan hidayah itu kepadamu. Wahai hamba-hambaKu,  sesungguhnya kalian lapar, kecuali orang-orang yang aku beri makan, maka  mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku berikan makanan itu kepadamu. Wahai  hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian adalah orang-orang tidak berpakaian, kecuali  orang-orang yang telah Kuberi pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya  Aku berikan pakaian itu kepadamu. Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian  senantiasa berbuat dosa di malam dan siang hari sedangkan Aku akan mengampuni  semua dosa, maka mintalah ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni kalian semua.  Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak dapat mendatangkan kemanfaatan  bagi-Ku sehingga tidak sedikit pun kalian bermanfaat bagi-Ku. Wahai  hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian semua tidak akan dapat mendatangkan bahaya  bagi-Ku sehingga tidak sedikit pun kalian dapat membahayakan-Ku. Wahai  hamba-hambaKu, andaikan kalian semua dari yang awal sampai yang terakhir, baik  dari bangsa manusia maupun jin, semuanya bertakwa dengan ketakwaan orang yang  paling takwa di antara kalian, hal itu tidak menambah sedikit pun dalam  Kerajaan-Ku. Wahai hamba-hambaKu, andaikan kalian semua dari yang awal sampai  yang terakhir, baik dari bangsa manusia maupun bangsa jin, berdiri di atas satu  dataran lalu meminta apa pun kepada-Ku, lalu aku penuhi semua permintaan mereka,  hal itu sedikit pun tidak mengurangi kekayaan yang Aku miliki, hanya seperti  berkurangnya air samudra ketika dimasuki sebatang jarum jahit (kemudian  diangkat). Wahai hamba-hambaKu, semua itu perbuatan kalian yang Aku hitungkan  untuk kalian, kemudian Aku membalasnya kepada kalian. Maka barang siapa  mendapatkan kebaikan, hendaklah ia memuji Alloh, dan barang siapa mendapatkan  selain itu, hendaklah ia tidak mencela kecuali dirinya sendirinya.” (HR.  Muslim)
HADITS QUDSI
Hadits Qudsi adalah firman Alloh yang disampaikan oleh Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan Al Quran. Ulama berbeda pendapat tentang lafaz hadits Qudsi, sebagian berpendapat lafaznya dari Alloh, sebagian yang lain berpendapat maknanya dari Alloh, adapun lafaznya dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam
Hadits Qudsi adalah firman Alloh yang disampaikan oleh Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan Al Quran. Ulama berbeda pendapat tentang lafaz hadits Qudsi, sebagian berpendapat lafaznya dari Alloh, sebagian yang lain berpendapat maknanya dari Alloh, adapun lafaznya dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam
KEZALIMAN
Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kezaliman ada dua martabat, yaitu menzalimi diri sendiri, dan menzalimi orang lain. Menzalimi diri sendiri ada dua bentuk yaitu syirik, dan perbuatan dosa atau maksiat. Menzalimi orang lain adalah menyia-siakan atau tidak menunaikan hak orang lain yang wajib ditunaikan.
Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kezaliman ada dua martabat, yaitu menzalimi diri sendiri, dan menzalimi orang lain. Menzalimi diri sendiri ada dua bentuk yaitu syirik, dan perbuatan dosa atau maksiat. Menzalimi orang lain adalah menyia-siakan atau tidak menunaikan hak orang lain yang wajib ditunaikan.
HIDAYAH
Hidayah ada dua macam yaitu Hidayatul Irsyad dan Hidayatut Taufiq. Hidayatul Irsyad adalah ilmu dan penjelasan. Hidayatut Taufiq adalah amal terhadap ilmu atau ittiba’.
Hidayah ada dua macam yaitu Hidayatul Irsyad dan Hidayatut Taufiq. Hidayatul Irsyad adalah ilmu dan penjelasan. Hidayatut Taufiq adalah amal terhadap ilmu atau ittiba’.
Hadits Ke-25
Dari Abu Dzar rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Ada  sekelompok sahabat Rasulullah melapor, “Wahai Rasulullah orang-orang kaya  telah memborong pahala. Mereka sholat sebagaimana kami sholat, mereka berpuasa  sebagaimana kami puasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan  hartanya.” Beliau bersabda, “Bukankah Alloh telah menjadikan bagi kalian  apa-apa yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya pada setiap tasbih ada  sedekah, pada setiap tahmid ada sedekah dan pada setiap tahlil ada sedekah,  menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan  mendatangi istrimu juga sedekah.” Mereka bertanya. “Wahai Rasulullah,  apakah jika seseorang memenuhi kebutuhan syahwatnya itu pun mendatangkan  pahala?” Beliau bersabda, “Apa pendapatmu, bila ia menempatkan pada  tempat yang haram, bukankah ia berdosa? Demikian pula bila ia menempatkan pada  tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
SHODAQOH
Shodaqoh adalah memberikan kebaikan kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Dengan demikian shodaqoh maknanya luas mencakup seluruh kebaikan, berupa perkataan atau perbuatan.
Shodaqoh adalah memberikan kebaikan kepada diri sendiri atau kepada orang lain. Dengan demikian shodaqoh maknanya luas mencakup seluruh kebaikan, berupa perkataan atau perbuatan.
PAHALA MENUNAIKAN  SYAHWAT
Ulama berbeda pendapat, apakah pahala menunaikan syahwat pada istri diperoleh tanpa niat, atau harus dengan niat. Jumhur ulama berpendapat, harus disertai niat meninggalkan hal-hal yang haram, mencukupkan diri dengan yang mubah berdasar kaidah hadits pertama.
Ulama berbeda pendapat, apakah pahala menunaikan syahwat pada istri diperoleh tanpa niat, atau harus dengan niat. Jumhur ulama berpendapat, harus disertai niat meninggalkan hal-hal yang haram, mencukupkan diri dengan yang mubah berdasar kaidah hadits pertama.
Hadits Ke-26
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu dia berkata:  Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap ruas tulang manusia  harus disedekahi setiap hari selagi matahari masih terbit. Mendamaikan dua orang  (yang berselisih) adalah sedekah, menolong orang hingga ia dapat naik kendaraan  atau mengangkatkan barang bawaan ke atas kendaraannya merupakan sedekah,  kata-kata yang baik adalah sedekah, setiap langkah kaki yang engkau ayunkan  menuju ke masjid adalah sedekah dan menyingkirkan aral (rintangan, ranting,  paku, kayu, atau sesuatu yang mengganggu) dari jalan juga merupakan  sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
MENSYUKURI NIKMAT
Hadits ini sebagai perincian dari hadits ke-dua puluh lima. Bershodaqoh adalah wujud dari mensyukuri nikmat. Seluruh anggota badan harus menunaikan syukur.
Hadits ini sebagai perincian dari hadits ke-dua puluh lima. Bershodaqoh adalah wujud dari mensyukuri nikmat. Seluruh anggota badan harus menunaikan syukur.
Mensyukuri nikmat ada dua  macam, wajib dan sunnah. Syukur yang wajib yaitu setiap hari menggunakan seluruh  anggota badan untuk menunaikan kewajiban, dan tidak digunakan untuk yang haram.  Syukur yang sunnah yaitu melaksanakan hal-hal yang sunnah setelah yang wajib.  Syukur yang sunnah bisa diwakili hanya dengan mengerjakan sholat dhuha dua  rakaat.
Hadits Ke-27
Dari Nawas bin Sam’an rodhiallohu ‘anhu bahwa  Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebajikan itu adalah budi  pekerti yang baik, dan dosa itu adalah segala sesuatu yang menggelisahkan  perasaanmu dan yang engkau tidak suka bila dilihat orang lain.” (HR.  Muslim)
Dan dari Wabishah bin Ma’bad rodhiallohu ‘anhu  dia berkata: Aku datang kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam,  beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku  berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa  yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa yang  menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang  terus membenarkanmu.” (Hadits hasan yang kami riwayatkan dari Musnad Imam  Ahmad bin Hambal dan Musnad Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan)
AL-BIRR ADALAH HUSNUL  KHULUQ
Al-Birr ada dua macam yaitu Al-Birr terkait dengan Alloh, dan Al-Birr terkait dengan sesama. Al-Birr terkait dengan Alloh adalah beriman kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Al-Birr terkait dengan sesama adalah husnul khuluq yaitu banyak berderma dan tidak mengganggu kepada sesama.
Al-Birr ada dua macam yaitu Al-Birr terkait dengan Alloh, dan Al-Birr terkait dengan sesama. Al-Birr terkait dengan Alloh adalah beriman kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya. Al-Birr terkait dengan sesama adalah husnul khuluq yaitu banyak berderma dan tidak mengganggu kepada sesama.
DOSA 
Dosa adalah sesuatu yang membuat bimbang di hati dan tidak suka jika diketahui orang lain. Kebimbangan yang ada dalam hati ada tiga keadaan yaitu:
Dosa adalah sesuatu yang membuat bimbang di hati dan tidak suka jika diketahui orang lain. Kebimbangan yang ada dalam hati ada tiga keadaan yaitu:
-  Ragu untuk mengerjakan sesuatu yang sudah jelas dalilnya, maka tercela.
 -  Ragu yang disebabkan karena perbedaan ulama, tetapi salah satunya sudah jelas. Jika ragu untuk mengerjakan yang sudah jelas tersebut maka tercela.
 
Ragu yang disebabkan  karena perbedaan ulama, dan sulit untuk menentukan yang lebih benar. Jika  meninggalkan amal yang disebabkan karena ragu seperti ini, maka tidak  tercela.
Hadits Ke-28
Dari Abu Najih ’Irbadh bin Sariyah rodhiallohu  ‘anhu dia berkata, “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati  kami dengan nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami  bertanya, “Wahai Rasulullah, seperti ini adalah nasihat perpisahan, karena itu  berilah kami nasihat”. Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap  menjaga ketakwaan kepada Alloh ‘azza wa jalla, tunduk taat (kepada pemimpin)  meskipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi. Karena orang-orang yang  hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, hendaklah kalian berpegang  teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk (Alloh). Peganglah  kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru  (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan  Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)
MENDENGAR DAN TAAT
Mendengar dan taat sama dengan bai’at. Bai’at kepada penguasa muslim yang sah hukumnya wajib. Kewajiban di sini selama bukan dalam kemaksiatan. Yaitu dalam hal-hal yang mubah. Karena kalau imam memerintahkan sesuatu yang wajib maka hakikatnya adalah mendengar dan taat kepada Alloh. Dengan demikian perintah imam terbagi dalam tiga bentuk yaitu:
Mendengar dan taat sama dengan bai’at. Bai’at kepada penguasa muslim yang sah hukumnya wajib. Kewajiban di sini selama bukan dalam kemaksiatan. Yaitu dalam hal-hal yang mubah. Karena kalau imam memerintahkan sesuatu yang wajib maka hakikatnya adalah mendengar dan taat kepada Alloh. Dengan demikian perintah imam terbagi dalam tiga bentuk yaitu:
-  Perintah tersebut merupakan kewajiban syar’i, maka ketaatan di sini merupakan ketaatan kepada Alloh.
 -  Perintah tersebut sesuatu yang mubah maka wajib ditaati karena ini merupakan haknya.
 -  Perintah tersebut merupakan kemaksiatan maka tidak boleh ditaati.
 
TERBENTUKNYA KEPEMIMPINAN DALAM  ISLAM
Seorang menjabat sebagai pemimpin Islam diperoleh dengan dua cara:
Seorang menjabat sebagai pemimpin Islam diperoleh dengan dua cara:
-  Hasil pilihan, yaitu dipilih oleh pemimpin sebelumnya atau oleh perwakilan umat.
 -  Hasil kudeta, yaitu menjadi pemimpin karena berhasil mengkudeta pemimpin sebelumnya.
Shalat Lail Menghapuskan Dosa Hadits Ke-29
Dari Mu’adz bin Jabal rodhiallohu ‘anhu berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, beritahu aku amal yang akan memasukanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka”. Beliau bersabda, “Engkau telah bertanya tentang masalah yang besar. Namun itu adalah perkara yang mudah bagi siapa yang dimudahkan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala. Engkau harus menyembah Alloh dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.” Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebajikan? Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan dosa sebagaimana air memadamkan api, dan shalat di tengah malam.” Kemudian beliau membaca ayat. “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya….” Hingga firman-Nya, “…sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan,” (As-Sajdah 16-17). Kemudian beliau bersabda kembali, “Maukah kalian kuberitahu pangkal agama, tiangnya dan puncak tertingginya?”. Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokok urusan adalah Islam (masuk Islam dengan syahadat,-pent), tiangnya adalah sholat, dan puncak tertingginya adalah jihad.” Kemudian beliau melanjutkan, “Maukah kalian kuberitahu tentang kendali bagi semua itu?” Saya menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau lalu memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini.” Saya berkata, “Wahai Nabi Alloh, apakah kita akan disiksa karena ucapan-ucapan kita?” Beliau menjawab, “Celaka kamu. Bukankah banyak dari kalangan manusia yang tersungkur kedalam api neraka dengan mukanya terlebih dahulu (dalam riwayat lain: dengan lehernya terlebih dahulu) itu gara-gara buah ucapan lisannya?” (HR. Tirmidzi ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.”)ILMU YANG BERMANFAAT
Ilmu yang semestinya ditekuni dan dikejar adalah ilmu yang bisa memasukan ke surga dan menyelamatkan dari api neraka. Inilah ilmu yang betul-betul bermanfaat. Perlu diperhatikan bahwa ada keasyikan tersendiri tatkala menuntut ilmu. Maka barang siapa yang keasyikannya melalaikan dia dari hakikat dicarinya ilmu, maka telah melampaui batas.Pengamalan ilmu pada dasarnya sesuatu yang berat, tetapi terasa mudah bagi yang mendapat kemudahan dari Alloh.IBADAH
Ibadah hanya boleh ditujukan kepada Alloh. Menunjukkan ibadah kepada selain Alloh adalah syirik. Ibadah hanya kepada Alloh dan tidak berbuat syirik merupakan inti risalah para Rasul. Seseorang yang telah menunaikan ibadah hanya kepada Alloh dan tidak berbuat syirik dinamakan muwahhid.Syirik ada dua macam, yaitu syirik akbar dan ashgor. Seseorang yang melakukan syirik akbar dinamakan musyrik dan hilang tauhidnya jika sebelumnya dia seorang muwahid. Pelaku syirik ashgor telah berdosa besar dan berkurang tauhidnya, tetapi tidak hilang tauhidnya.JIHAD FI SABILILLAH
Jihad membedakan agama Islam dengan agama yang lain, seperti punuk membedakan unta dengan binatang yang lainnya. Hukum jihad ada yang wajib dan ada yang sunnah. Yang wajib terbagi dua, wajib aini dan wajib kifayah. Perincian selanjutnya ada dalam kitab fikih.Patuhilah Perintah Dan Larangan Agama Hadits Ke-30
Abu Tsa'labah Al-khusyani Jurtsum bin Nasyir ra. meriwayatkan dari Rosulullah saw, beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah swt telah menetapkan beberapa kewajiban, janganlah engkau menyepelekannya (meremehkannya), telah menentukan sanksi-sanksi hukum, janganlah engkau melanggar, telah pula mengharamkan beberapa hal, maka janganlah engkau jatuh kedalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal --karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa-- maka janganlah engkau mencari-carinya." (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ad-daruquthni, dll)[1]Jauhilah Kesenangan Dunia, Niscaya Dicintai Allah Hadits Ke-31
Dari Abul-Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idi rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan aku suatu amal, jika aku lakukan akau akan dicintai Alloh dan dicintai oleh manusia. “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya dicintai Alloh dan zuhud lah terhadap apa yang dimiliki orang lain, niscaya mereka akan mencintaimu” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan imam yang lainnya dengan sanad yang shahih)
Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting karena berisi landasan untuk mendapatkan cinta Alloh dan cinta manusia.Cinta Alloh Dan Cinta Manusia
Cinta Alloh dapat diraih dengan menunaikan hak-hakNya dan demikian juga cinta manusia dapat diraih dengan menunaikan hak-haknya dan memperlakukan mereka secara adil dan baik. Mendapat cinta Alloh adalah tujuan utama seorang hamba dalam hidupnya, maka wajib bagi seorang hamba untuk mengetahui hal-hal yang mendatangkan kecintaan Alloh.Zuhud
Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Maka zuhud terhadap dunia maksudnya apabila berbuat bukan demi mendapatkan nilai duniawi tetapi semata-mata lillah, maka sama saja baginya mendapat pujian atau mendapat celaan manusia.
Zuhud terhadap milik manusia maksudnya tidak ada dalam hatinya keinginan dan perhatian terhadap sesuatu yang menjadi milik orang lain. Barang siapa yang bisa merealisasikan dalam dirinya zuhud dengan pengertian di atas maka dia akan meraih cinta Alloh dan cinta manusia.Orang Yang Menuduh Wajib Menunjukkan Bukti Hadits Ke-33
Dari Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika semua orang dibiarkan menuduh semaunya, niscaya akan ada banyak orang yang menuduh harta suatu kaum dan darahnya. Oleh karenanya, haruslah seseorang yang menuduh itu menunjukkan bukti-buktinya dan yang menolak wajib untuk bersumpah.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya, sebagiannya terdapat dalam kitab Shahih)Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting karena merupakan dasar dalam bab hukum dan perselisihan.Bukti
Bukti adalah segala sesuatu yang menunjukkan kepada yang benar. Dengan demikian bukti itu sangat banyak macamnya dan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.
Bukti dibutuhkan pada setiap pengakuan. Maka pengakuan tanpa bukti tidak dihiraukan. Namun ada kalanya meski penuduh tidak membawa bukti dibutuhkan sumpah dari yang dituduh jika dia mengingkarinya.Keputusan Hakim
Hakim tidak boleh memutuskan berdasarkan yang dia ketahui, tetapi harus berdasarkan bukti-bukti. Mana yang lebih kuat buktinya itulah ysng dia menangkan meskipun dia tahu bahwa yang buktinya lebih kuat telah berbuat curang. Maka dalam perselisihan, keputusan hakim tidak mesti benar. Oleh karena itu tidak boleh bagi seorang mengambil hak orang lain dengan alasan karena hakim memenangkannya. Dia menjadikan keputusan hakim sebagai kebenaran, padahal dia tahu bahwa dirinyalah yang bersalah.Kewajiban Memberantas Kemungkaran Hadits Ke-34
Dari Abu Sa’id Al-Khudri rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Aku mendengar Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting. Menjelaskan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.Merubah Kemungkaran
Kemungkaran adalah semua yang dinilai jelek oleh syariat, yaitu yang hukumnya haram. Kemungkaran yang diubah adalah yang terlihat mata atau yang sejajar dengan kedudukan mata, dan mengubahnya ketika melihat kemungkaran tersebut. Kemungkaran yang tidak terlihat mata tapi diketahui masuk dalam pembahasan nasihat. Dan yang diubah adalah kemungkarannya. Adapun pelakunya maka masalah tersendiri.Mengubah kemungkaran tidak sama dengan menghilangkan kemungkaran. Oleh karena itu telah dikatakan mengubah kemungkaran jika telah mengingkarinya dengan lisannya atau hatinya, walaupun tidak menghilangkan kemungkaran itu dengan tangannya.Batasan kewajiban mengubah kemungkaran terikat dengan kemampuan atau dugaan kuat. Artinya, jika seorang memiliki kemampuan untuk menghilangkan kemungkaran dengan tangan maka wajib untuk menghilangkan dengan tangannya. Demikian juga jika diduga kuat pengingkaran dengan lisan akan berfaedah maka wajib mengingkari dengan lisannya. Adapun pengingkaran dengan hati maka wajib bagi semuanya, karena setiap muslim pasti mampu untuk mengingkari dengan hatinya.Mengingkari dengan hatinya yaitu, meyakini keharaman kemungkaran yang dia lihat dan membencinya.Perbedaan Ingkar Mungkar dan Nasihat
Ingkar mungkar lingkupnya lebih sempit dibandingkan dengan nasihat. Pembahasan tentang nasihat telah dijelaskan pada hadits ke-tujuh. Ingkar mungkar termasuk dari nasihat. Karena itu ingkar mungkar disyaratkan padanya berbagai syarat, di antara syarat terpenting adalah kemungkaran itu dilihat dan pengingkaran tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.Dampak Ingkar Mungkar dan Hukum Pengingkarannya
Sebuah kemungkaran jika diingkari akan terjadi satu di antara empat tersebut di bawah ini:-  Berpindah kepada kemungkaran yang lebih besar. Hukum pengingkarannya haram.
 -  Berpindah kepada keadaan yang lebih baik. Hukum pengingkarannya wajib.
 -  Berpindah kepada kemungkaran lain yang sepadan. Hukum pengingkarannya dibutuhkan ijtihad.
 -  Berpindah kepada kemungkaran lain yang belum jelas besar kecilnya. Hukum pengingkarannya haram.
 
Jangan Saling Mendengki Hadits Ke-35
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu berkata, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jangan kalian membeli suatu barang yang (akan) dibeli orang. Jadilah kamu sekalian hamba-hamba Alloh yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, tidak layak untuk saling menzhalimi, berbohong kepadanya dan acuh kepadanya. Taqwa itu ada disini (beliau sambil menunjuk dadanya 3 kali). Cukuplah seseorang dikatakan jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim. Haram bagi seorang muslim dari muslim yang lainnya, darahnya, hartanya, dan harga dirinya” (HR. Muslim)Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting karena merupakan landasan dalam bermuamalah dengan sesama muslim dan menunaikan hak-hak mereka.Hasad, Najas, Kebencian dan Boikot
Hasad adalah tidak suka melihat saudaranya mendapat kenikmatan, baik berangan-angan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya atau tidak. Hasad merupakan akhlak yang sangat tercela. Hasad di samping wujud protes terhadap takdir, juga su’udzon kepada Alloh tatkala menganggap bahwa nikmat tersebut tidak pantas didapat saudaranya.Najas adalah bermuamalah dengan melakukan berbagai macam tipu daya. Najas hukumnya haram karena semestinya bermuamalah dengan saudaranya dengan muamalah yang baik.
Kebencian kepada saudaranya ada dua bentuk, yaitu:-  Benci karena agama. Kebencian seperti ini boleh bahkan wajib, yaitu membenci saudaranya karena kejelekan agamanya. Kebencian seperti ini tidaklah kebencian secara mutlak, dalam arti di samping rasa benci terdapat juga dalam hatinya rasa cinta karena masih saudaranya.
 -  Benci karena dunia. Kebencian seperti ini haram hukumnya. Maka jika seseorang mendapatkan dalam dirinya kebencian kepada saudaranya hendaklah dia melihat kepada kebaikannya agar kebencian tersebut hilang.
 
Hajr atau memboikot saudaranya, ada dua macam yaitu:-  Memboikot karena alasan agama. Hukumnya boleh jika mendatangkan maslahah bagi yang memboikot atau bagi yang diboikot.
 -  Memboikot karena alasan dunia. Hukumnya boleh jika saudaranya telah menyakitinya dengan batasan waktu maksimal tiga hari. Dan lebih baik dia memaafkan dan melupakan kesalahan saudaranya dan tidak memboikotnya.
 
Merendahkan Saudara Muslim
Haram seseorang merendahkan saudaranya. Yaitu dia berkeyakinan bahwa saudaranya lebih rendah dari dirinya karena keturunannya, daerahnya, pekerjaannya,dan sebab-sebab lain. Merendahkan saudaranya bertentangan dengan kewajiban untuk memuliakannya. Karena bagaimanapun keadaan seorang muslim ada pada dirinya keimanan, ketauhidan, dan lain-lain dari ketaatan yang wajib untuk dimuliakan.Membantu Kesulitan Sesama Muslim Hadits Ke-36
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Alloh akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Alloh akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Alloh akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Alloh akan menolong seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya. Barang siapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Alloh akan memudahkan jalan baginya menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Alloh untuk membaca Kitabulloh dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketenteraman, rahmat Alloh akan menyelimuti mereka, dan Alloh memuji mereka di hadapan (para malaikat) yang berada di sisi-Nya. Barang siapa amalnya lambat, maka tidak akan disempurnakan oleh kemuliaan nasabnya.” (Hadits dengan redaksi seperti ini diriwayatkan oleh Muslim)Membantu Kesulitan
Membantu saudaranya untuk terlepas dari kesulitan merupakan kebajikan yang mendatangkan pahala yang sangat besar baik di dunia maupun di akhirat. Kesulitan apapun dan bantuan dalam bentuk apapun.Menutup Aib
Menutup aib saudaranya wajib hukumnya. Baik saudaranya banyak berdosa lebih-lebih yang taat. Membuka aib hanya boleh dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan tetap memenuhi ketentuan syariat.Pahala Kebaikan Berlipat Ganda Hadits Ke-37
Dari Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda menyampaikan apa yang diterimanya dari Tuhannya Alloh ‘azza wa jalla. Dia berfirman, “Sesungguhnya Alloh mencatat semua amal kebaikan dan keburukan”. Kemudian Dia menjelaskan. “Maka barang siapa telah berniat untuk berbuat suatu kebaikan, tetapi tidak melakukannya, maka Alloh mencatatnya sebagai satu amal kebaikan. Jika ia berniat baik lalu ia melakukannya, maka Alloh mencatatnya berupa sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan masih dilipatgandakan lagi. Dan barang siapa berniat amal keburukan namun tidak melakukannya, Alloh akan mencatatnya sebagai amal kebaikan yang utuh, dan bila ia berniat dan melakukannya, maka Alloh mencatatnya sebagai satu amal keburukan.” (HR. Bukhori dan Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya dengan redaksi tersebut)
Bertekad Kuat dan Hukumnya
Seseorang yang bertekad kuat untuk mengamalkan sesuatu, tidak akan terlepas dari enam keadaan berikut ini:-  Bertekad dalam kebaikan dan mengamalkannya. Baginya pahala sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat bahkan sampai tak berhingga.
 -  Bertekad dalam kebaikan dan batal mengamalkannya. Baginya pahala satu kebaikan.
 -  Bertekad dalam kejelekan dan mengamalkannya. Baginya dosa satu kejelekan.
 -  Bertekad dalam kejelekan dan gagal mengamalkannya karena terhalang sesuatu. Baginya dosa satu kejelekan.
 -  Bertekad dalam kejelekan dan membatalkannya karena Alloh. Baginya pahala satu kebaikan.
 -  Bertekad dalam kejelekan dan batal mengamalkannya karena hilang selera, misalnya. Baginya tidak pahala dan tidak juga dosa.
 
Melakukan Amal Sunnah Menjadikan Kita Wali Allah Hadits Ke-38
Dari Abu Hurairah rodhiallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku lindungi.” (HR. Bukhari)[1]Wali Alloh
Wali Alloh adalah setiap mukmin yang bertakwa. Karena keimanan dan ketakwaan bertingkat-tingkat demikian juga wali Alloh. Semakin tinggi keimanan dan ketakwaan maka semakin tinggi pula kedudukan perwaliannya.Memusuhi Wali Alloh
Memusuhi wali Alloh artinya membencinya. Membenci wali Alloh hukumnya terbagi dua seperti telah dijelaskan pada pembahasan membenci saudara muslim.Kebersamaan Alloh
Wali Alloh akan meraih kebersamaan dengan-Nya. Artinya Alloh akan senantiasa menjaga pendengaran, penglihatan dan seluruh tindak tanduknya pada sesuatu yang diridhoi-Nya. Di samping itu Alloh akan senantiasa mengabulkan doa dan permintaannya yang terkait dengan urusan dunia atau urusan akhirat. Bukanlah kebersamaan Alloh berarti Zat-Nya menyatu dengan dirinya. Karena kebesaran dan keagungan Zat Alloh mustahil untuk menyatu pada Zat makhluk yang sangat kecil dan hina.
 -  
 
Syarah Hadits Wali
Penulis: Ustadz Ali Musri, M.A.
Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam,  sholawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat  manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para  sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka  sampai hari kiamat.
Terjemahan Hadits:
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi  shalalahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Alloh, adapun  perbedaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang  masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya  datang langsung dari Alloh adapun hadits biasa lafaznya dari nabi sedangkan  maknanya dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits  Qudsi dengan Al Qur’an? Karena keduanya sama-sama datang dari Alloh baik lafaz  maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al Quran mendapat  pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat  pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan  dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang  berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa  ilmu. Wallohu a’lam bissawaab. 
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah  shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu, sahabat yang  terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Nama  beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang  khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak  meriwayatkan hadits?
Pertama,  berkat doa nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang  ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya. 
Kedua,  ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan  lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain Mereka  mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby  menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Tholhah bin  Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami  mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan  sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia  mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan  menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan  pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi  dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu  dipintu rumah Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama  tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami  tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan  tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah shalAllohu  ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan  tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya:  aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah  melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia,  aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku  selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang  beliau, maka oleh sebab itu (demi Alloh) aku menjadi orang yang paling tahu  dengan hadits-hadits beliau. 
Kandungan Hadits
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Pertama: Tentang al wala’ wal bara’  (loyalitas dan berlepas diri).
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian  kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa  menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu  bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin  kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan  sunnah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat  menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling  nomor satu dalam memusuhi wali-wali Alloh adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka  sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari  seluruh wali Alloh setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia.  Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah  berjuang dijalan Alloh untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga  mereka. 
Imam As Sya’bi mengungkapakan bahwa kebencian  Rafidhah kepada para wali Alloh melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada  para wali Alloh: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi  terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau  bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan  menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa  generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat  Muhammad.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata,  “Sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi Mereka  tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al Quran dan  sunnah supaya bisa membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah)  itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang  zindiq.”
Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai  kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan  nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa  bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang  melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara  ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa  memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu  melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini  sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar  nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkam  kepada mereka.
Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita,  yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Alloh itu? bermacam pandangan telah  mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki  hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti  tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang  berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian  lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit  berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir  selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian  yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini. 
Pengertian Wali
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.
Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali  Alloh terbagi kepada dua golongan:
Golongan Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari  orang-orang yang dekat dengan Alloh). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang  mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal  yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu  mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.  
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup  dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang  diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang  makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits  di atas: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan  sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan  kepadanya”. 
Kedua golongan ini disebutkan Alloh dalan  firman-Nya:
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut  amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Alloh  dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali  ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar  menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Alloh sebaliknya bila amalannya  penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan.  Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Alloh
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri  oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan  tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang  pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua  kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut  adalah bukan wali Alloh. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam  beribadah kepada Alloh, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama  atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar.  Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat  bahwa Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan  nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Alloh dan  menjauhi apa yang dilarang Alloh. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini  yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan  amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai  wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Alloh maka ia termasuk pada jenis wali  yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah  dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun  zikir, dll.
Ciri-Ciri Wali Setan
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Alloh terangkan dalam firmanNya bahwa  setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka:
“Sesunguhnya setan-setan itu mewahyukankan  kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka  sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Al An’aam:  121).
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan  berdo’a di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri  karena telah menyekutukannya dengan Alloh. Manakah yang lebih tinggi kehormatan  seorang wali disisi Alloh dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih  tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa.  Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan  manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal  itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan nabi  shalAllohu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat  diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di  Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah  kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan  nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Karena  kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam  dunia. 
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam  menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan  amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan  Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah  yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengikari kalau memang beliau  seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari  tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah  sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan  pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau  shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama’ah dan shalat jum’at? adakah  petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini?  Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at.  
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki  atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal  belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin  setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada  orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa  memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati  dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah  amalanya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam  Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di  udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”.
Karena setan bisa membawa seseorang untuk  terbang, atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang  lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang  luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala  yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syetan. Dan banyak sekali kejadian  yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang  murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan. 
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang  nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahwa  dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas:  sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat  tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman  Alloh:
“Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa  turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “.  (Asy Syu’araa: 221-222). Dan yang lain membaca  firman Alloh, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali  Mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia  tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an  dan Sunnah. Karena nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah  hadits: “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan  bisikan dari malaikat”. (HR. At Tirmizy no: 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi  terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku  tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah”.  
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang  terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu  Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa  yang dikatakan wali.
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang  kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih  tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah)  dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka  mengkultuskan sang kiyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan  oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata  melanggar Al Quran dan Sunnah. 
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang  guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah  penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang  sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti  memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan  orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula  Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi  Alloh waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu  pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu  perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah  diberikan Alloh kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya,  atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Alloh, atau pertolongan dari  Alloh terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang  yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah.  Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka  bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah  istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi  menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam  bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru  menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang  lain.
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat  mengetahui hal-hal yang ghaib.
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak  dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Alloh kepada  mereka. Sebagaimana firman Alloh kepada Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam,  “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang  rezki Alloh, dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50).  Dan firman Alloh: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan  tidak pula (menolak) mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib  tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah  ditimpa kejelekkan”. (Al A’raaf: 188). 
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak  manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari  pada takut kepada Alloh, atau meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati  yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan  semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan  kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang kafir  Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para  wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Alloh. Hal inilah  yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Alloh dalam firmannya:  “Ingatlah milik Alloh-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang  mengambil wali (pelindung) selain Alloh berkata: kami tidak menyembah Mereka  melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”.  (Az Zumar: 3).
Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada  Alloh.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Manhaj yang benar dalam  beribadah
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Yang lebih memprihatinkan lagi kalau  bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti  maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur’an atau Isra’  mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah  tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan sholat. Begitu pula dalam  berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan  orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pondasi Islam itu sendiri.  Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tampa membicarakan  masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa  kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi  perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dawah para  rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai  dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam selama itu  pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam  Malik berpesan: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa  yang telah membuat jaya generesi sebelum Mereka”. 
Beberapa kesalahan dalam melakukan  ibadah.
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu  belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu  pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara  dalam agama, padahal baca al fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar  gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan,  dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau  sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita  justru belajar kepada siapa saja yang tidak tau dari mana rimbanya. Alloh telah  berfirman: 
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu  tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan  dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (QS Al Israa:  36).
Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang  dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah  hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan  tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah  orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya  fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku  menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari  kemungkaran tapi aku melakukannya”. Na’uzubillah min hadza haal. Alloh telah  berfirman: “Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan  dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak  memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).
Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap  jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu  atau berilmu tapi tidak beramal. 
“Ya Alloh tujukilah kami Jalan yang lurus.  Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan  orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al  Fatihah: 6-7).
Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shalAllohu ‘alaihi  wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena  Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut.  Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka  beramal tapi tidak dengan ilmu.
Keutamaan melakukan amalan-amalan  sunnah.
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara keutamaan amalan sunnah adalah  untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya.  Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib  artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam  shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu  pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar  adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al Qur’an sebagaimana yang  dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang  utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa  adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya  dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai  dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka  disini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang  akan kita lakukan.
Ketiga: Tentang sifat Alloh Al Kalam  (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta). 
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Kaidah umum dalam beriman kepada nama dan  sifat-sifat Alloh.
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
-  Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shohih.
 -  Tidak menyerupakan sifat-sifat Alloh tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
 -  Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.
 
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut sebagai  berikut;
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan  Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Alloh dan  rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir  dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara  yang demikian”. (An Nisaa: 150). 
Dan firman Alloh lagi:
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
Kaedah pertama ini juga menunjukkan kepada kita  bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Alloh adalah sebatas adanya nash  dari Al Qu’an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya  sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang  sifat-sifat Alloh.
Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut  berarti ia lebih tahu dari Alloh dan rasul dalam menyampaikan suatu berita,  sehingga ia merubah maksud dari perkataan Alloh dan rasul-Nya. Ini adalah  kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Alloh dan  rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme  (Ahlulkalam).
Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat  Alloh dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Alloh yang Maha  Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Alloh dengan  makhluk adalah kafir. Karena tiada satupun makhluk yang meyerupai Alloh.  Sebagaimana firman Alloh:
“Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”.  (Asy Syura: 11). 
Dan firman Alloh: ِ
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana  hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa  mengetahui hakikat sifatnya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah  kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak  bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat denganya yaitu nyawa (ruh)  manusia itu sendiri, tidak ada seorangpun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi  semua orang meyakini bahwa ruh itu ada. tetapi mereka tidak mampu mengetahui  hakikatnya.
Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk  beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan ditunutut untuk mengetahui hakikat  sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya  masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki  gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama  kaki. Begitu pula sayab burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula  sayab burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah  seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat  sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang  Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan  dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarnya tidak seperti pendengaran  makhluk, pendengarannya sesuai dengat zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengar  Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati  seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding.  Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk  berbicara. Ada orang yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya  tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat  tersebut. Pertama ia menyurupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu  ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti  dari semula bahwa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu  ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tampa mesti  memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam  sewaktu beliau  di Makkah. Begitu pula nanti diakhiratrkepada nabi  tangan dan  kaki manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan Mereka tampa ada mulut  dan lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat  sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya satu. 
Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap  prilaku seorang muslim.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Kata-kata “senantiasa” menunjukkan bahwa  amalan tersebut berkesenambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar’i  “Istiqomah” dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu  dalam hadits lain disebutkan: “Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan  sekalipun sedikit”. Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat  saja, kemudian lalu ditinggalkan.
Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah  dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat pringkat mahabbah dari Allah,  orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi  kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan  ‘inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata  seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu  yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno, dsb.  tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermamfaat baik untuk kehidupan dunia  maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al Qur’an atau membaca buku-buku agama  dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, tenik, pertanian dst. Kemudian  Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu  rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakanya untuk kemaslahatan duniawi atau  kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasehat agama atau pelajaran di  kampus dan disekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan  sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaaan, KKN  dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal  yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita  simpulkan disini bahwa amal sholeh dapat menuntun seseorang kepada segala hal  yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari ketejerumusan kepada  kemaksiatan.
Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada  maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut.
Sebagaimana firman Allah:
Sebagaimana firman Allah:
“Maka tatkala Mereka berpaling (dari  kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka”. (Ash shaaf: 5).
Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda  beliau: “Sesungguhnya kejujuran menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya  kebaikan itu menunjukan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku  jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagaia orang yang paling jujur. Dan  sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya  kemaksiata itu menunjukan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa  berbohong samapai dicatat di sisi Allah sebagai seoranga yang paling bohong”.  (HR. Bukhary no: 5743, dan Muslim no: 2607).
Dalam hadits lain: “Sesungguhnya balasan (suatu  amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri”.
Maka jika amalannya baik, maka balasanya pun baik  dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannyapun jelek. Oleh sebab  itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal shaleh adalah amal  shaleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan  diterima disisi Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh keta’atan. 
Kekeliruan orang sufi dalam memahami  makna hadits ini.
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa  Allah berkata: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan  memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan  melindunginya”.
Jadi jelas ada disana dua pelaku yaitu hamba yang  meminta dan Allah yang memperkenangkan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang  memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kapadanya. Oleh sebab  itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang bedalil untuk kebatilannya  dengan Al Qur’an atau hadits shohih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri  sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya.
Manhaj ulama dalam memahami nas-nas yang  mutsyabih (meragukan).
Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
Kelima: Balasan yang diberikan Allah  untuk orang yang selalu taat pada Allah.
Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa  para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Alloh. Bukan  kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat disisi  Alloh bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon  perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh  orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret  mereka berbuat syirik kepada Alloh. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa  mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas  pemberian Alloh kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Alloh  dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti  telah menyekutukan mereka dengan Alloh. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh  ‘alaihissalam yang telah menjadikan orang-orang sholeh mereka sebagai tempat  perantara dalam berdoa kepada Alloh. 
Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali  Alloh, bahwa Alloh selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut  serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan  timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadangkala para  wali Alloh itu juga ditimpa kejelekkan dan penyakit seperti nabi Ayub yang  ditimpa penyakit begitu pula Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam  pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh  serupa baik ditingkat para nabi dan rasul maupun ditinggkat para sahabat dan  Tabi’iin?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:
-  Diantara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
 -  Diantara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Alloh, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya”. (HR. At Tirmizy no: 2398).
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya. -  Diantara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Alloh, dan tidak ada sedikitpun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.
 
Kekeliruan sebagian orang dalam masalah  berdoa.
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Pertama:  Berdoa merupakan perintah dari Alloh, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir  tentu Alloh tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.
Kedua:  Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan  rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa  sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu  Mereka tidak akan melakukannya apa lagi  menganjurkannya.
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Keempat:  Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Alloh ada dua: Takdir  kauniyah dan takdir syar’iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:
Takdir kauniyah  adalah ketentuan Alloh yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti  hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Alloh. Adapun takdir  syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Alloh yang  diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang  dicintai Alloh. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir  kauniyah dengan takdir syar’iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama.  Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khatab: “Kita lari dari takdir  Alloh kepada Takdir Alloh”. Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu  menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak  akan mencari padang rumput yang subur?. 
Kelima:  Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Alloh untuk dilakukan, sebagaimana  makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab berarti  ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata  adalah syirik.
Kemudian diantara kesalahan lain dalam berdo’a  adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa  agar Alloh menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Alloh  memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka diantara sikap  wali Alloh adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam  berdoa.
Ringkasan kandungan hadits  wali:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
-  Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
 -  Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
 -  Tentang sifat Alloh ; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
 -  Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
 -  Balasan yang diberikan Alloh untuk orang yang selalu taat pada Alloh.
 -  Hadits diatas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh yang hak.
 -  Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Alloh karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Alloh atau kepada musuh para wali Alloh. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum menjadikan Alloh sebagai wali karena ia mencintai apa yang dibenci Alloh. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.
 
Wallohu A’lam  bisshawaab
Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
 Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Hadits Ke-39
Dari Ibnu Abbas rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah sholallahu  ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Alloh mengampuni beberapa perilaku  umatku, yakni (karena) keliru, lupa dan terpaksa." (Hadits hasan  diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi, dan lain-lain)
Kesalahan yang  Dimaafkan
Alloh memaafkan kesalahan hamba-Nya akibat tersalah (keliru atau tidak sengaja), lupa atau dipaksa. Maaf di sini dalam arti tidak berdosa. Namun hukum ini terkait dengan hukum taklifi. Adapun terkait hukum wad’i atau dalam muamalah maka jika membuat kerugian pada pihak lain dengan sebab tersalah atau lupa tetap harus menanggungnya, meski tidak berdosa akibat perbuatannya tersebut.
Alloh memaafkan kesalahan hamba-Nya akibat tersalah (keliru atau tidak sengaja), lupa atau dipaksa. Maaf di sini dalam arti tidak berdosa. Namun hukum ini terkait dengan hukum taklifi. Adapun terkait hukum wad’i atau dalam muamalah maka jika membuat kerugian pada pihak lain dengan sebab tersalah atau lupa tetap harus menanggungnya, meski tidak berdosa akibat perbuatannya tersebut.
Hadits Ke-40
Dari Ibnu Umar rodhiallahu ‘anhu berkata:  Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundakku dan bersabda,  “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan.”  Ibnu Umar rodhiallahu ‘anhu berkata, “Jika kamu berada di sore hari,  jangan menunggu pagi hari, dan jika engkau di pagi hari janganlah menunggu sore,  manfaatkanlah masa sehat. Sebelum datang masa sakitmu dan saat hidupmu sebelum  datang kematianmu.” (HR. Bukhari)[1]
Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat penting karena terkandung di dalamnya wasiat yang sangat agung.
Hadits ini sangat penting karena terkandung di dalamnya wasiat yang sangat agung.
Menjadi Orang Asing
Surga adalah kampung halaman manusia. Seorang yang berakal tentu merindukan kampung halamannya yang penuh dengan kenikmatan. Maka dunia ini bukanlah tempat tinggal yang asli. Manusia di dunia berkedudukan seperti orang asing. Sebagai orang asing semestinya tidak terpedaya dengan kehidupan dunia lupa akan kampung halamannya.
Surga adalah kampung halaman manusia. Seorang yang berakal tentu merindukan kampung halamannya yang penuh dengan kenikmatan. Maka dunia ini bukanlah tempat tinggal yang asli. Manusia di dunia berkedudukan seperti orang asing. Sebagai orang asing semestinya tidak terpedaya dengan kehidupan dunia lupa akan kampung halamannya.
Manusia tidak akan dapat  kembali ke kampung halamannya sehingga dia beramal dengan amalan yang menjadi  syarat untuk dapat kembali. Syaratnya adalah senantiasa menghadirkan hukum  syariat di hatinya dalam setiap keadaan kemudian melaksanakan konsekuensi hukum  tersebut. Jika lalai dan terjerumus dalam dosa segera istighfar dan bertaubat  sehingga keadaannya lebih baik dibanding sebelum berdosa. Itulah manusia yang  dapat kembali ke kampung halamannya dalam keadaan yang paling  sempurna.
Menjadi Orang Asing di Dunia
Penulis: Syaikh Shalih bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh  hafizhohulloh
Diterjemahkan dari Penjelasan Hadits Arba’in No. 40. Oleh: Abu Fatah Amrulloh
Murojaah: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar
Diterjemahkan dari Penjelasan Hadits Arba’in No. 40. Oleh: Abu Fatah Amrulloh
Murojaah: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar
Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau  berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku  seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir”.  Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya  pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore.  Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR.  Bukhori)
Penjelasan
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi nasihat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Hadits ini dapat menghidupkan hati karena di dalamnya terdapat peringatan untuk menjauhkan diri dari tipuan dunia, masa muda, masa sehat, umur dan sebagainya.
Penjelasan
Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi nasihat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Hadits ini dapat menghidupkan hati karena di dalamnya terdapat peringatan untuk menjauhkan diri dari tipuan dunia, masa muda, masa sehat, umur dan sebagainya.
Ibnu Umar berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi  wa sallam pernah memegang kedua pundakku”, hal ini menunjukkan perhatian yang  besar pada beliau, dan saat itu umur beliau masih 12 tahun. Ibnu Umar berkata:  “beliau pernah memegang kedua pundakku”. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau penyeberang jalan”.  Jika manusia mau memahami hadits ini maka di dalamnya terkandung wasiat penting  yang sesuai dengan realita. Sesungguhnya manusia (Adam –pent) memulai  kehidupannya di surga kemudian diturunkan ke bumi ini sebagai cobaan, maka  manusia adalah seperti orang asing atau musafir dalam kehidupannya. Kedatangan  manusia di dunia (sebagai manusia) adalah seperti datangnya orang asing. Padahal  sebenarnya tempat tinggal Adam dan orang yang mengikutinya dalam masalah  keimanan, ketakwaan, tauhid dan keikhlasan pada Alloh adalah surga. Sesungguhnya  Adam diusir dari surga adalah sebagai cobaan dan balasan atas perbuatan maksiat  yang dilakukannya. Jika engkau mau merenungkan hal ini, maka engkau akan  berkesimpulan bahwa seorang muslim yang hakiki akan senantiasa mengingatkan  nafsunya dan mendidiknya dengan prinsip bahwa sesungguhnya tempat tinggalnya  adalah di surga, bukan di dunia ini. Dia berada pada tempat yang penuh cobaan di  dunia ini, dia hanya seorang asing atau musafir sebagaimana yang disabdakan oleh  Al Musthofa shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Betapa indah perkataan Ibnu Qoyyim rohimahulloh  ketika menyebutkan bahwa kerinduan, kecintaan dan harapan seorang muslim kepada  surga adalah karena surga merupakan tempat tinggalnya semula. Seorang muslim  sekarang adalah tawanan musuh-musuhnya dan diusir dari negeri asalnya karena  iblis telah menawan bapak kita, Adam ‘alaihissalam dan dia melihat, apakah dia  akan dikembalikan ke tempat asalnya atau tidak. Oleh karena itu, alangkah  bagusnya perkataan seorang penyair:
Palingkan hatimu pada apa saja yang kau  cintai
Tidaklah kecintaan itu kecuali pada cinta pertamamu
Yaitu Alloh jalla wa ‘ala
Tidaklah kecintaan itu kecuali pada cinta pertamamu
Yaitu Alloh jalla wa ‘ala
Berapa banyak tempat tinggal di bumi yang  ditempati seseorang
Dan selamanya kerinduannya hanya pada tempat tinggalnya yang semula
Yaitu surga
Dan selamanya kerinduannya hanya pada tempat tinggalnya yang semula
Yaitu surga
Demikianlah, hal ini menjadikan hati senantiasa  bertaubat dan tawadhu kepada Alloh jalla wa ‘ala. Yaitu orang yang hati mereka  senantiasa bergantung pada Alloh, baik dalam kecintaan, harapan, rasa cemas, dan  ketaatan. Hati mereka pun selalu terkait dengan negeri yang penuh dengan  kemuliaan yaitu surga. Mereka mengetahui surga tersebut seakan-akan berada di  depan mata mereka. Mereka berada di dunia seperti orang asing atau musafir.  Orang yang berada pada kondisi seakan-akan mereka adalah orang asing atau  musafir tidak akan merasa senang dengan kondisinya sekarang. Karena orang asing  tidak akan merasa senang kecuali setelah berada di tengah-tengah keluarganya.  Sedangkan musafir akan senantiasa mempercepat perjalanan agar urusannya segera  selesai.
Demikianlah hakikat dunia. Nabi Adam telah  menjalani masa hidupnya. Kemudian disusul oleh Nabi Nuh yang hidup selama 1000  tahun dan berdakwah pada kaumnya selama 950 tahun,
“Maka ia tinggal di antara mereka seribu  tahun kurang lima puluh tahun” (QS Al Ankabut: 14)
Kemudian zaman beliau selesai dan telah berlalu.  Kemudian ada lagi sebuah kaum yang hidup selama beberapa ratus tahun kemudian  zaman mereka berlalu. Kemudian setelah mereka, ada lagi kaum yang hidup selama  100 tahun, 80 tahun, 40 tahun 50 tahun dan seterusnya.
Hakikat mereka adalah seperti orang asing atau  musafir. Mereka datang ke dunia kemudian mereka pergi meninggalkannya. Kematian  akan menimpa setiap orang. Oleh karena itu setiap orang wajib untuk memberikan  perhatian pada dirinya. Musibah terbesar yang menimpa seseorang adalah kelalaian  tentang hakikat ini, kelalaian tentang hakikat dunia yang sebenarnya. Jika Alloh  memberi nikmat padamu sehingga engkau bisa memahami hakikat dunia ini, bahwa  dunia adalah negeri yang asing, negeri yang penuh ujian, negeri tempat berusaha,  negeri yang sementara dan tidak kekal, niscaya hatimu akan menjadi sehat. Adapun  jika engkau lalai tentang hakikat ini maka kematian dapat menimpa hatimu. Semoga  Alloh menyadarkan kita semua dari segala bentuk kelalaian.
Kemudian Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhuma  melanjutkan dengan berwasiat,
“Jika engkau berada di sore hari jangan  menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada pagi hari jangan menunggu  datangnya sore.”
Yaitu hendaklah Anda senantiasa waspada dengan  kematian yang datang secara tiba-tiba. Hendaklah Anda senantiasa siap dengan  datangnya kematian. Disebutkan dari para ulama salaf dan ulama hadits bahwa jika  seseorang diberi tahu bahwa kematian akan datang kepadanya malam ini, maka belum  tentu dia dapat menambah amal kebaikannya.
Jika seseorang diberi tahu bahwa kematian akan  datang kepadanya malam ini, maka belum tentu dia dapat menambah amal  kebaikannya. Hal ini dapat terjadi dengan senantiasa mengingat hak Alloh. Jika  dia beribadah, maka dia telah menunaikan hak Alloh dan ikhlas dalam beribadah  hanya untuk Robbnya. Jika dia memberi nafkah pada keluarganya, maka dia  melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan syariat. Jika dia berjual beli,  maka dia akan melakukan dengan ikhlas dan senantiasa berharap untuk mendapatkan  rezeki yang halal. Demikianlah, setiap kegiatan yang dia lakukan, senantiasa  dilandasi oleh ilmu. Ini adalah keutamaan orang yang memiliki ilmu, jika mereka  bertindak dan berbuat sesuatu maka dia akan senantiasa melandasinya dengan hukum  syariat. Jika mereka berbuat dosa dan kesalahan, maka dengan segera mereka akan  memohon ampunan. Maka dia akan seperti orang yang tidak berdosa setelah  beristigfar. Ini adalah kedudukan mereka. Oleh karena itu Ibnu Umar rodhiallohu  ‘anhuma mengatakan:
“Pergunakanlah masa  sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori
 Hadits Ke-41
Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amr bin Ash  rodhiallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah bersabda, “Tidak beriman seseorang  di antara kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku bawa.”  (Hadits shahih, kami riwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang  shahih)[1]
Sempurnanya Iman
Sempurnanya iman hanya bisa diraih dengan menundukkan hawa nafsu untuk mengikuti semua petunjuk Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan mendahulukan kehendak Rasulullah atas kehendak dirinya terutama ketika terjadi pertentangan kehendak. Demikianlah banyak ayat dan hadits yang semakna dengan hadits ini. Walau secara sanad hadits ini didho’ifkan oleh banyak ulama.
Sempurnanya iman hanya bisa diraih dengan menundukkan hawa nafsu untuk mengikuti semua petunjuk Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu dengan mendahulukan kehendak Rasulullah atas kehendak dirinya terutama ketika terjadi pertentangan kehendak. Demikianlah banyak ayat dan hadits yang semakna dengan hadits ini. Walau secara sanad hadits ini didho’ifkan oleh banyak ulama.
Penafian iman di sini  diartikan sebagai penafian kesempurnaan. Karena seperti telah dibahas di depan  bahwa penafian ada dua macam. Penafian iman sama sekali dan penafian  kesempurnaannya. 
Kewajiban Mengikuti Sunnah
Penulis: Syaikh Shalih bin ‘Abdul Aziz Alu  Syaikh hafizhohulloh
Diterjemahkan dari Penjelasan Hadits Arba’in No. 41 Oleh: Abu Fatah Amrulloh
Murojaah: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar
Diterjemahkan dari Penjelasan Hadits Arba’in No. 41 Oleh: Abu Fatah Amrulloh
Murojaah: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar
Dari Abu Muhammad Abdulloh bin Amr bin  Al-Ash rodhiallohu ‘anhuma beliau berkata: Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa  sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa  nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” (hadits hasan sahih yang kami riwayatkan  dari Kitabul Hujjah dengan sanad yang sahih)
Penjelasan:
Hadits ini adalah hadits yang terkenal dan hadits ini terdapat dalam Kitab At-Tauhid. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”. Hadits ini berderajat hasan sebagaimana yang dihasankan Imam Nawawi di sini. Bahkan beliau berkata ini adalah hadits yang hasan shahih.
Penjelasan:
Hadits ini adalah hadits yang terkenal dan hadits ini terdapat dalam Kitab At-Tauhid. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”. Hadits ini berderajat hasan sebagaimana yang dihasankan Imam Nawawi di sini. Bahkan beliau berkata ini adalah hadits yang hasan shahih.
Hadits ini dikatakan sebagai hadits hasan  karena hadits ini sesuai dengan makna ayat Al Quran yaitu:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada  hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang  mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka  terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS  An Nisaa: 65)
Menganggap sebuah hadits memiliki derajat  hasan karena memiliki makna yang sesuai dengan ayat Al Quran adalah mazhab yang  dianut oleh banyak ulama terdahulu seperti Ibnu Jarir Ath Thobari dan sebagian  ulama dan imam ahli hadits.
Perkataan nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  pada hadits ini: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa  nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” memiliki makna bahwa keimanan yang  sempurna tidak akan terwujud sampai hawa nafsu dan harapan seseorang mengikuti  apa yang dibawa oleh Al Musthofa (nabi Muhammad) shalallahu ‘alaihi wa salam.  Hal ini juga bermakna bahwa seseorang wajib mendahulukan kehendak Rosululloh  shalallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan kehendaknya serta mendahulukan  syariat Rosululloh shalallahu ‘alaihi sallam dari pada hawa nafsunya. Jika  terdapat pertentangan antara harapannya dengan sunnah, maka dia akan  mendahulukan sunnah. Hal ini telah dijelaskan pada banyak ayat Al Quran dan  hadits, seperti firman Alloh jalla wa ‘ala:
Katakanlah: “Jika bapak-bapak , anak-anak  , saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu  usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang  kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad  di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS At  Taubah: 24)
Maka seseorang wajib untuk lebih mencintai  Alloh dan Rosul-Nya dibandingkan selain keduanya. Jika seseorang sudah berbuat  demikian, maka hawa nafsunya sudah mengikuti apa yang dibawa oleh Al Musthofa  shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka makna perkataan  Rosululloh shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak beriman salah seorang di  antara kalian” adalah meniadakan kesempurnaan keimanan yang wajib. Makna  ini adalah makna zhohir yang sesuai dengan kaidah yang telah kita pelajari  sebelumnya. Pembicaraan tentang hal ini secara lebih lengkap terdapat dalam  penjelasan Kitab At Tauhid 
Hadits Ke-42
Dari Anas bin Malik rodhiallahu ‘anhu dia  berkata: Aku mendengar Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, sepanjang engkau  memohon kepada-Ku dan berharap kepada-Ku akan Aku ampuni apa yang telah kamu  lakukan. Aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di  langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni. Wahai anak  Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian  engkau datang kepada-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, pasti Aku  akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, ia  berkata, ”hadits ini hasan shahih.”)[1]
Pengampunan Dosa
Seberapa pun besar dosa seseorang Alloh menjanjikan ampunan jika mau istigfar. Ampunan Alloh akan menyebabkan terhapusnya dosa. Terhapusnya dosa menyebabkan terhindar dari azab dunia dan azab akhirat.
Seberapa pun besar dosa seseorang Alloh menjanjikan ampunan jika mau istigfar. Ampunan Alloh akan menyebabkan terhapusnya dosa. Terhapusnya dosa menyebabkan terhindar dari azab dunia dan azab akhirat.
Siapa yang mau istigfar ketika berdosa maka  dosanya terhapus meski puluhan kali dia lakukan tiap harinya. Dan dia terbebas  dari predikat orang yang terus menerus dalam dosa. Ini semua menunjukkan betapa  besar dan luasnya rahmat Alloh pada hamba-Nya. Maka celakalah seorang hamba yang  mengetahui luasnya rahmat Alloh namun dia tidak berusaha untuk meraihnya  sehingga terhalang dari rahmat-Nya.
Semoga istigfar menjadi  rutinitas kita sebagaimana rutinitas Nabi kita. Beliau dalam sehari lebih dari  tujuh puluh kali beristigfar. 
Penutup
Dengan ini selesailah Ringkasan Syarah Arba’in  An-Nawawi. Mudah-mudahan amal ini menjadi tabungan pahala bagi penulis sebagai  amal yang ikhlas dan bermanfaat bagi peserta dauroh khususnya dan kaum muslimin  pada umumnya.
Tak lupa penulis memohon kepada Alloh agar  senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada Imam Nawawi penulis matan, kepada  Syaikh Sholeh Alu Syaikh penulis syarah dan kepada kita semua yang senantiasa  bersemangat untuk mempelajari hadits-hadits Nabi sholallahu ‘alaihi wa  sallam.
Kritik dan saran yang membangun dari pembaca  sangat penulis harapkan. Saya ucapkan jazaakumulloh kepada semua pihak yang  telah membantu demi selesainya penulisan mukhtashor (ringkasan) ini. Dan mohon  maaf atas segala kekurangan. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah  kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang  senantiasa berusaha mengikutinya hingga Hari Kiamat kelak. Alhamdulillaahi  rabbil ‘aalamiin. 
Yogyakarta, Sore Hari Arofah, 9 Dzulhijah 1425  H.
Yang sangat butuh ampunan Alloh,
Abu ‘Isa  Abdullah Bin Salam
Sumber:  Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh 
JOS,SIP,, AMIN YA RABBAL ALAMIN
BalasHapus