Deskripsi
Setelah kampanye mendukung Ahmadiyah gagal dilakukan oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) melalui jalur politik jalanan dan penggunaan jasa premanisme serta eksploitasi media massa, beberapa bulan terakhir AKKBB kembali berulah dengan memanfaatkan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalaui nomor perkara 140/PUU-VII/2009 kelompok ini mengajukan permohonan judicial review (uji materi) UU 1/PNPS/1965 dan Pasal 156 a KUHP yang lebih dikenal dengan UU Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama, agar dihapuskan.
UU Pasal 1/PNPS/1965 itu menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Sedangkan KUHP Pasal 156 a itu berbunyi: “Ancaman pidana selama-lamanya lima tahun penjara bagi mereka yang mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: [a]. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; [b]. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Lebih dari 40 tahun UU Penodaan atau Penistaan Agama ini terbukti sangat penting dan efektif untuk mencegah dan menyeret berbagai aliran sesat dan meyimpang ke proses hukum untuk diadili. Berbagai kemunculan sekte sesat dan menyimpang seperti Ahmadiyah, Nabi Palsu, Ahmad Musadik, Lia Eden dengan agama Salamullahnya, Surga Aden dan beberapa aliran menyimpang lainnya, dapat diperingati melalui SKB (Surat Keputusan Bersama), bisa dilarang melalui SK Kepala Daerah, serta bisa dihukum penjara dan dicegah eksistensinya berdasarkan UU tersebut.
Namun menurut kelompok AKKBB, ketentuan dalam UU tersebut dinilai deskriminatif, tidak senafas dan bertentangan dengan semangat kebebasan berkeyakinan dan beragama yang dijamin UU Pasal 29 ayat 2 dan 28E, dan bertentangan dengan HAM yang dijamin dalam Pasal 22 dan 8 No. 39 tahun 1999. Pasal-pasal dalam UU Penodaan dan Penistaan Agama itu kerap dipakai senjata kelompok mainstream untuk menindas paham keagamaan kelompok minoritas yang dianggap telah menodai agama tertentu. Misalnya insiden tragis di Monas awal bulan Juni 2008 lalu, dengan menggunakan pasal-pasal ini beberapa umat Islam berupaya memberhangus Ahmadiyah karena dianggap telah menodai dan menghina Islam dengan mempercayai nabi baru setelah nabi Muhammad saw.
Perjuangan kelompok AKKBB itu harus kandas setelah pada tanggal 19 April 2010 lalu, MK memutuskan menolak permohonan judicial review UU itu, dan menyatakan UU tersebut tetap konstitusional. Penolakan ini karena MK menilai dalil-dalil pemohon tidak beralasan hukum. Di samping itu, MK berdalih negara memang memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat. Jika ada konflik, maka yang bisa memberikan paksaan untuk mengatur adalah negara.
Pertanyaan
a. Dalam perspektif fiqh, apakah UU Penodaan Agama tersebut bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan dan HAM?
b. Demi pertimbangan dan alasan kebebasan akidah, keadilan dan HAM, serta untuk memberikan solusi atas fakta-fakta kekerasan yang dialami kelompok agama atau keyakinan minoritas, dapatkah dibenarkan wacana atau gugatan kelompok AKKBB menghapus UU tersebut?
c. Sejauh manakah jaminan dan perlindungan yang diberikan Islam terhadap kebebasan berkeyakinan dan HAM?
Sa'il: Panitia & PP. Langitan
Jawaban
a. Tidak bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan atau HAM versi Islam, karena kebebasan tersebut tetap dibatasi dengan perilaku yang tidak menyinggung atau menyakiti (idlrar) akidah lain serta tetap menjaga kemurnian ajaran dan akidahnya sendiri.
b. Tidak dapat dibenarkan karena:
-UU tersebut tidak bertentangan dengan kebebasan akidah atau HAM versi Islam.
-Fakta anarkhisme tersebut tidak bisa dikatakan sebagai ekses dari UU Penodaan agama, melainkan karena perilaku kolompok yang tidak patuh hukum.
-Penghapusan UU tersebut justru akan membuka potensi terhadap penodaan agama.
c. Segala perilaku yang tidak idlrar (mengganggu) pihak lain dan tidak bertentangan dengan ajaran dan akidah yang diyakininya.
Referensi
1. ِAt-Tasyri’ al-Jina’i juz 1 hal. 31-42
2. Al fiqhul Islamy Juz 8 Hal. 6209
3. Is’adurrofiq juz 2 hal. 119
4. Tafsir Qurthubi juz 1 hal. 1985
5. Tafsir Qurthubi juz 1 hal. 2407-2408
6. Tafsir Ar-Rozi juz 3 hal. 454
7. Ihya Ulumiddin juz 2 hal. 327
8. Qurrotul ‘ain Bifatawi Isma’il Zein hlm. 199-212
9. Hasyiah Al-Jamal juz 4 hal. 280
Label: Bahtsul Masail
Diskripsi
Sebagaimana kerap kita lihat di dinding-dinding masjid, mushalla atau tempat-tempat ibadah lain terdapat JADUAL SHALAT ABADI. Label "JADUAL SHALAT ABADI" yang tertera tak jarang mengobsesi masyarakat awam untuk begitu saja menyakini bahwa waktu shalat tidak pernah mengalami perubahan sepanjang masa, dan cenderung enggan melakukan akurasi dan koreksi dengan waktu yang sebenarnya, sehingga menjadikan jadual tersebut sebagai acuan dan pakem dalam menentukan waktu shalat. Di samping itu, memang tidak semua orang memiliki pengetahuan memadai dengan teori penentuan dan perubahan waktu shalat ini. Padahal jika ditilik melalui ilmu astronomi, perubahan waktu senantiasa berlangsung dari hari ke hari dan tahun ke tahun. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa waktu shalat tidak ada yang tidak berubah lebih-lebih abadi.
Pertanyaan
a. Sejauh mana validitas JADUAL SHALAT ABADI digunakan acuan menentukan waktu shalat?
b. Adakah kewajiban melakukan koreksi untuk akurasi waktu shalat, dan tiap kapan?
Sa'il: Mutakharrijin MHM 2009
Jawaban
a. Sejauh jadual waktu tersebut dibuat berdasarkan kaidah-kaidah ilmu falak yang ditetapkan dalam kitab-kitab falak mu'tabar dan tidak bertentangan dengan waktu shalat yang ditentukan oleh syara'.
b. Tidak wajib
Referensi
1. Syarh Bughyatul Mustarsyidin vol. 2 hal. 23,33,40
2. As-Syarwani vol. 1 hal. 500
Label: Bahtsul Masail
Deskripsi
Sebuah perusahaan kecil, CV. ARISAN SEDULURAN menawarkan program arisan dengan ketentuan:
-Arisan dengan hasil undian mendapatkan Honda Revo seharga Rp. 14.000.000;
-Peserta satu group arisan minimal 30 orang;
-Undian dilakukan 1 bulan sekali selama 24 bulan;
-Iuran pada bulan pertama sebesar Rp. 1.000.000 dan bulan berikutnya sebesar Rp. 500.000;
-Peserta yang namanya keluar saat undian, berhak mendapat Honda Revo dan tidak berkewajiban menyetorkan iuran di bulan-bulan berikutnya;
-Enam peserta yang tidak keluar namanya dalam 24 kali putaran undian, akan otomatis mendapatkan Honda Revo di akhir periode.
Melihat minat dan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi (khususnya di daerah Indramayu) mengikuti model arisan ini, pihak CV. ARISAN SEDULURAN berusaha mengembangkan programnya dengan menawarkan hasil undian yang cukup variatif, seperti HP, peralatan elektronik, rumah tangga dll., namun tetap dengan ketentuan yang sama dan juga membatasi jumlah minimal peserta.
Sekilas, arisan model seperti ini adalah bisnis nekat yang hanya akan merugikan pihak CV. Namun kenyataannya, dari kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan, bahkan pihak CV. dapat meraup keuntungan yang tidak sedikit. Keuntungan pihak CV ini bisa diperoleh dengan pembelian Honda Revo langsung dari distributor Honda dengan sistem paket kredit, yakni 30 unit motor bonus 3 motor, plus potongan harga normal. Atau, pihak CV akan memutar uang yang diterima dari iuran peserta untuk modal usaha, didepositokan di bank dll., sehingga pihak CV tetap memperoleh untung dari program arisan ini.
Praktek lain yang hampir mirip dengan model ARISAN SEDULURAN ini adalah arisan yang diadakan dalam sebuah jam’iyyah. Hanya saja yang membedakan, iuran ini dilabeli atau lebih pasnya diatasnamakan sedekah, dan peserta yang namanya keluar saat undian berhak mendapatkan kesempatan umrah.
Pertanyaan
a. Termasuk akad apa transaksi antara pihak CV dengan peserta arisan di atas? Dan bagaimana hukumnya?
Sa'il: Kelas III Aliyah MHM 201
Jawaban
Ada dua kemungkinan:
-Akad jual beli yang tidak sah karena ketidakjelasan harga, bentuk barang, dan pelaku akad (peserta yang memperoleh honda Revo.
-Dan atau akad qardlu yang hukumnya juga tidak sah bila ketentuan mendapatkan honda Revo disebutkan dalam akad.
Catatan:
-Praktek di atas dapat direalisasikan dengan solusi: peserta ketika menyerahkan uang kepada penyelenggara dimaksudkan menghutangi kemudian ketika undian keluar dan mendapatkan honda Revo dilakukan akad istibdal, yakni hutang yang diterima diganti dengan sepeda Revo, maka hukumnya sah.
-Bila ada ketentuan berupa peserta yang tidak bisa melanjutkan atau berhenti arisan uang yang disetorkan akan hangus, maka di samping akad qardlunya tidak sah juga tidak ada solusi untuk mengesahkannya.
Referensi
1. Al-Qulyubi vol. II hlm. 321
2. I'anatuth Thalibin vol. III hlm. 65
3. I'anatuth Thalibin vol. III hlm. 52
4. Bughyatul Mustarsyidin 132
5. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra vol. II hlm. 280
Pertanyaan
b. Kalau tidak diperbolehkan, apa kewajiban bagi pihak CV yang telah memanfaatkan uang iuran peserta, dan kewajiban peserta yang telah mendapatkan Honda Revo?
Jawaban :
Bagi kedua belah pihak (CV dan peserta arisan) harus mengembalikan barang yang telah diterima.
Referensi
1. Al-Bujairami al-Khatib vol. 3, hal. 13-14
2. Hasyiyah Jamal vol. 3, hal. 377
Pertanyaan
c. Bagaimana hukum mengikuti arisan seperti dalam sebuah jam’iyyah dengan hadiah umrah?
Jawaban :
Diperinci:
-Apabila saat menyerahkan uang tersebut penyumbang semata-mata bermaksud untuk mendapatkan undian hadiah umroh, maka tergolong qimar (judi) meskipun dibungkus sedekah, sebagaimana SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah).
-Apabila saat menyerahkan bermaksud sedekah meskipun disertai harapan mendapatkan hadiah umrah, maka tidak diperbolehkan jika biaya umrah diambil dari uang sumbangan yang terkumpul karena menggunakan uang sedekah tidak semestinya.
Referensi
1. Tuhfah al-Muhtaj vol. 6, hal. 309
2. Hasyiyah al-Qalyubi vol. 6, hal. 206
3. Fatawi wa Masyurat (Dr. Romdlon Buthi) vol. 2, hal. 49.
4. Al-Majmu' Syarhul Muhadzab, vol. 15, hal. 370.
Label: Bahtsul Masail
Deskripsi
Diantara daftar Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) tahun 2010 ini, Kementrian Agama berencana mengesahkan beberapa draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, yang meliputi ketentuan nikah sirri (perkawinan di bawah tangan), nikah mut’ah (kawin kontrak), poligami dan thalaq (cerai). Beberapa pasal dalam draft RUU tersebut juga memuat ketentuan pidana kurungan mulai 6 bulan hingga 3 tahun, serta denda mulai Rp 6 juta hingga Rp 12 juta. Misalnya pada:
-Pasal 143, barang siapa melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah, didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama 6 bulan;
-Pasal 144, melakukan perkawinan mut’ah diancam pidana paling lama 3 tahun penjara dan perkawinannya batal demi hukum;
-Pasal 145, melangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga dan keempat tanpa izin dari pengadilan, dipidana denda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama 6 bulan;
-Pasal 146, menceraikan istri tidak di depan pengadilan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman 6 bulan penjara;
-Pasal 147, menghamili perempuan yang belum nikah dan ia menolak mengawini, dipidana paling lama 3 bulan penjara.
Draft RUU tersebut dimaksudkan sebagai wujud perlindungan akibat buruk pada pihak-pihak yang menjadi korban. Misalnya nikah sirri, kawin kontrak dan poligami dipandang banyak merugikan perempuan dan sering disalahgunakan menjadi perzinahan terselubung yang dimanfaatkan sebagai media singgahan pemuasan dan pelampiasan seks tanpa tanggung jawab, yang berakibat istri dan anak-anak terlantar, tidak ada pengakuan dari istri pertama dll. RUU ini juga diharapkan akan mempermudah istri atau anak memperoleh haknya secara hukum positif, seperti hak warisan, hak perwalian, tunjangan kesehatan, pembuatan KTP atau paspor dll.
Kendati demikian, khusus RUU nikah sirri dan poligami tersebut mendapat respon penolakan keras dari berbagai kalangan, karena disamping dinilai menyudutkan dan mempersulit amaliah umat Islam, RUU tersebut juga dikhawatirkan justru akan mengobsesi seseorang memilih melakukan zina ketimbang harus menikah. Lebih dari itu, pemidanaan dengan denda dan atau hukuman penjara terhadap perkawinan tanpa dokumentasi itu dinilai sangat berlebihan, karena praktek nikah sirri sebenarnya hanya merupakan pelanggaran administratif keperdataan, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan bentuk pelanggaran pidana sehingga tidak proporsional jika harus dikriminalisasi.
Pertanyaan
a. Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, dapatkah dibenarkan peberlakuan pasal nikah sirri dan poligami di atas?
b. Bagaimana hukum pemidanaan pelanggaran UU nikah sirri dan poligami di atas?
c. Jika pemerintah benar-benar memberlakukan, bagaimana konsekuensi hukum perkawinan atau perceraian yang melanggar pasal nikah sirri dan poligami di atas?
Sa'il: PP. Langitan & Panitia
Jawaban
a. UU Perkawinan sesuai yang termaktub dalam KHI yang membatasi pernikahan sirri dengan tidak mengabsahkannya, tidak dapat dibenarkan karena memvonis batal pernikahan yang sudah absah secara syar'i.
b. Gugur
c. Gugur
Referensi
1. Al-Fiqh Al-Islami, vol. 9 hal. 6674
2. Bughyah al-Mustarsyidin hal. 271
3. At Tasyri' al-Jana'i, vol. 1, hal. 254
4. Al Fiqh al-Islami, vol. 9 hal. 339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar