Kamis, 25 Agustus 2011

HARUSKAH JAUHI POLITIK


HARUSKAH MENJAUHI DUNIA POLITIK ?
Kerangka Analisis Masalah

Dewasa ini, kita menyaksikan hubungan antara ulama dan umara seolah seperti dua kutub yang frontal dan kontras satu sama lain baik secara ikatan emosional maupun kultural, di mana perbedaan ini praktis tidak kita jumpai di era Nabi dan generasi-generasi awal Islam, di mana seorang figur yang menjabat sebagai pemerintah (umara) adalah figur yang menyandang gelar ulama itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, seorang ulama sekaligus umara di waktu itu dan tidak pernah menjadi dua kubu yang saling konfrontasi.

Terlepas dari sugesti sosio-politik yang mempengaruhi perbedaan dua kubu tertsebut, perbedaan ini semakin tampak ekstrim dan kritis ketika kita melihat dalam beberapa fatwanya, para fuqaha lebih-lebih ulama Mutashawwif melontarkan fatwa agar menjahui ranah perpolitikan seperti dengan pernyataan bahwa dunia politik adalah madhinnah al-fitnah, klaim syubhat terhadap sumbangan-sumbangan politis dan lain sebagainya. Kita juga bisa jumpai pujian-pujian ulama kapada tokoh-tokoh yang memiliki track record menjauh dari umara dalam hidupnya (lihat: Ihya’ Ulumiddin vol. II hlm. 140 dll.).

Secara implisit, sikap dan fatwa ulama demikian mau tidak mau akan memunculkan opini bahwa dunia politik adalah sebuah ranah kehidupan yang aib untuk diterjuni. Fatwa-fatwa yang boleh jadi dianggap profokatif oleh sebagian pihak ini, tidak aneh jika kemudian menjadi justifikasi dan penegas persepsi umum bahwa umara dan ulama adalah dua kubu yang “hitam dan putih”. Persepsi umum ini bisa kita buktikan dari ucapan sederhana namun cukup sinis yang kerap kita dengar: ”kyai kok berpolitik” dan lain sebagianya.

Sementara itu, dalam khazanah fiqh siyasah kita mengetahui bahwa hakikat dari misi politik (siyasah) adalah ri’âyah limashâlih al-’ibâd (demi terciptanya kemaslahatan kehidupan umat) yang nota bene secara hukum adalah kewajiban. Bagaimana dengan kontradiksi ini??!

Sail: Kelas III ‘Aliyyah MHM

Pertanyaan
a. Apa landasan riil dari fatwa-fatwa untuk menjauhi dunia politik dan klaim syubhat uang yang diperoleh dari politik tersebut?
b. Di manakah sebenarnya proporsi fatwa-fatwa tersebut?

Jawaban
a. Berlandaskan pada Hadits tentang anjuran untuk menjahui dunia perpolitikan yang tidak bisa lepas dari kedzaliman serta pelakunya akan melakukan kedzaliman tersebut. Sedangkan klaim terhadap status kesyubhatan uang tersebut, dikarenakan ketidakjelasan status halal-tidaknya, dari sisi hasil pendapatan atau pihak penerimanya.

b. Idem dengan sub. A

Referensi
1. Ihya’ ’Ulum Ad-Din vol. I hal. 448 dan vol. II hal. 73 dan 490.
2. Al-Jami’ Li-Ahkam Al-Qur’an Li-Al-Qurthuby vol. I hal. 2861.
3. Tuhfah Al-Muhtaj vol. VII hal. 170
4. Bughyah Al-Mustarsyidin vol. 127

LAFADZ SINGKAT TALQIN ORANG SEKARAT
Kerangka Analisis Masalah

Sudah menjadi tradisi, ketika ada orang yang sedang sakâratul maut, pihak keluarga menemani dan mengajarkan kalimah Tauhid. Hal ini adalah sebagai bentuk implementasi dari sabda Nabi: "Barang siapa yang akhir perkataannya mengucapkan kalimah ‘Lâ Ilâha Illalloh’, maka akan masuk surga". Menurut Imam Subki, keutamaan hadist di atas sebagai tanda bahwa orang yang akhir hayatnya mengucapkan kalimat Tauhid, akan tergolong orang yang diampuni dari dosa-dosanya sehingga tidak akan masuk ke neraka sama sekali (lihat kitab Jamal).

Reaitas yang ada, ketika ada orang yang sedang sakâratul maut biasanya pihak keluarga mendampinginya dan mengajarkan (mentalqin) kalimat tauhid dengan ucapan "Laa Ilaaha Illa Allah" sesuai dengan redaksi dalam hadits. Namun umumnya, orang yang sakâratul maut hanya mampu mengucapkan lafadz الله saja.

Sail: Panitia BMK III

Pertanyaan
Apakah lafadz الله yang diucapkan oleh orang yang sakâratul maut sudah mencukupi disebut kalimah tauhid dalam konteks ini?

Jawaban
Khilaf:
- Menurut versi Ali Sibra Malisi dengan mengi’tibar dhahirul hadits belum bisa mencukupi dan tetap disunahkan mentalqin kalimat الله إلا اله لا seperti redaksi dalam hadits.
- Menurut versi Zarkasih lafadl Allah sudah di anggap mencukupi sebab memiliki dilalah kalimat tauhid.
- Sedangkan versi Al-Syamiri sudah di anggap cukup sekalipun tidak memiliki kalimah tauhid selama tidak berkata dengan kalam yang mengandung arti dunia.

Referensi
1. At-Turmusy vol. III hal. 290.
2. Hasyiyah As-Sanady ‘Ala Al-Bukhory vol. IV hal. 530.
3. Hasyiyah Al-Jamal vol. VI hal. 389.
4. Kasyful Al-Asror vol. V hal. 322.
5. Hasyiyah Qulyubi wa Umairoh vol. I hal. 375

QURBAN DAN PEMANFAATAN LIAR FASILITAS MASJID
Kerangka Analisis Masalah

Sering kita jumpai di masarakat, orang-orang menyerahkan hewan kurban ke masjid dan atau kepada ta'mir masjid. Di antara sighat yang disampaikan oleh orang yang mau berkurban; "hewan kurban ini saya serahkan ke masjid”. Atau ”hewan kurban ini saya serahkan kepada ta'mir masjid”. Kemudian hewan yang sudah diterima terkadang ditempatkan di halaman masjid, begitu pula menyembelih, memboling dan membagi-bagikan dagingnya. Orang-orang yang terlibat dengan penyembelihan kurban tersebut biasanya tidak lepas dari pemanfaatan fasilitas milik masjid, seperti menggunakan alat-alat masjid, air jeding masjid, alas dan lain sebagainya.

Sail: PP. Raudlatul ‘Ulum Besuk Pasuruan

Pertanyaan
a. Bagaimana hukum menyembelih, menempatkan, memboleng dan membagi-bagikan daging kurban di halaman masjid sebagaimana dalam deskripsi masalah?

Jawaban
a. Boleh selama tidak ada yang mengingkari

Referensi
1. Bughyah Al-Mustarsyidin hal. 63
2. Al-Fatawi Al-Fiqhiyyah Al-Kubro vol. II hal. 335.
3. Talkhish Al-Murod hal. 94-96.
4. Ahkam Ash-Shulthoniyah vol. III hal. 229-230
5. Tuhfah Al-Muhtaj vol. VI hal. 258.
6. Fatawi Syar’iyah Fi mas’il Hamah Far’iyyah vol. 45
7. Hasyiyah Al-Jamal vol. III hal. 359.

Pertanyaan
b. Bagaimana hukum menggunakan fasilitas masjid seperti alat-alat, jeding dan lainnya untuk kepentingan di atas?

Jawaban
b. Diperbolehkan selain memindah peralatannya dengan mempertimbangkan pada ‘urfnya

Referensi
1. Bughyah Al-Mustarsyidin hal. 63
2. Al-Fatawi Al-Fiqhiyyah Al-Kubro vol. III hal. 287.
3. I’anah Ath-Tholibin vol. I hal. 69.Ahkam
4. Al-Fatawi Al-Fiqhiyyah Al-Kubro vol. III hal. 266

Pertanyaan
c. Siapakah yang manjadi wakil dalam kasus di atas?

Jawaban
c. Orang yang mengurusi proses penyembelihan dan pembagiannya.

Referensi
1. Syarah Yaqut An-Nafisah vol. II hal. 16
2. Bughyah Al-Mustarsyidin hal. 151
3. Tuhfah Al-Muhtaj bi Hamsy Asy-Syarwani vol.___ hal. 311-312
4. Al-Fatawy Al-Fiqhiyyah Al-Kubro vol. III hal. 259
5. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab vol XIV hal. 109-110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar