Kamis, 25 Agustus 2011

Ketika metode bahtsul Masa'il di gugat



Kerangaka Analisis Masalah

Setelah lebih dari 10 tahun menjadi santri nekat, seorang kang santri sebut saja kang Patekur, terbersit untuk mengadakan tasyakuran atas karunia Allah yang tidak diberikan ke semua hamba-Nya, yakni bisa nyantri sekian lama itu. Sebagai manifestasi konkret dari rasa syukurnya, ia bermaksud mengundang teman-teman seperjuangannya untuk makan-makan di rumahnya. Sadar bahwa tasyakuran ini terbilang event yang cukup besar untuk ukuran dia, maka dengan segala cara ia berusaha membeli seekor kambing plus seekor ayam potong yang cukup gemuk.

Namun apesnya, entah karena grogi atau dulu di pesantren hanya kebanyakan teori dan kurang praktek, seekor kambing dan ayam gemuk yang ia sembelih cacat syarat. Kambingnya cuma putus urat hulqûm-nya sedangkan ayamnya cuma putus urat marî'-nya. Kendati begitu, ia tetap tegar menghadapi takdir yang menimpanya itu dan tetap menghidangkan kambing dan ayam potongnya dengan harapan dan penuh husnudhan ada qaul selemah apapun yang menghalalkan hasil sembelihannya.

Sail: Panitia BMK III

Pertanyaan
a. Adakah qaul mu’tabar yang menghalalkan hasil sembelihan kang Patekur seperti di atas?

Jawaban
a. Tidak ada qaul yang mu’tabar. Sedang pendapat Imam Ushthukhri yang mencukupkan dengan memotong hulqum atau mari’ saja, tidak dapat diamalkan karena dinilai sebagai muqâbil an-nash. Bahkan sebagian ulama menyatakan sebagai mukhâlif lil ijmâ’.

Referensi
1. ‘Umdatul Qari’ vol. XXXI hal. 39
2. Al-Majmu’ vol. IX hal. 99
3. Kifayatul Akhyar vol. I hal. 277
4. An-Najmul Wahhaj vol. I hal. 92-125

Pertanyaan
b. Bolehkan kang Patekur menghidangkan hasil sembelihannya?

Jawaban
b. Tidak boleh karena jelas-jelas sembelihan Kang Patekur tidak sah dan tidak ada pendapat mu’tabar yang bisa diikuti meskipun dengan cara taqlid ba’dal ‘amal.

Referensi
1. Bughyatul Mustarsyidin hal. 19
2. Al-Fawaidul Makiyyah hal.61
3. Ihya’ ‘Ulumiddin vol. I hal. 444
4. An-Nafahat hal. 170
KETIKA METODE BAHTSUL MASA’IL DIGUGAT
Kerangka Analisis Masalah

Perubahan dinamika sosio-kultur dan politik dari waktu ke waktu memunculkan berbagai problem yang tidak ditemukan jawabannya dalam khazanah literatur klasik, atau kalaupun ditemukan, seakan sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada masa kekinian. Hal ini mendorong beberapa pihak untuk merumuskan ulang metode-metode klasik untuk menelurkan formulasi hukum baru yang senafas dengan denyut nadi perubahan.

Pada Musyawarah Nasional (MUNAS) NU tahun 1992 di Lampung diputuskan beberapa metode baru. Di antaranya adalah metode penggalian hukum secara “manhaji”. Yakni teori penggalian hukum yang tidak lagi terkonsentrasi pada pendapat ulama (aqwâl al-ulâma), melainkan lebih memperhatikan bagaimana pola pikir ulama dulu merumuskan suatu produk hukum. Teori istinbâth al-hukm inilah yang dikatakan sebagai bermazhab secara manhaji (metodologis). Metodologi lain yang coba dikembangkan adalah ilhâq al-masâ’il bi nadhâ’irihâ. Yakni teori pencarian hukum melalui penyamaan (ilhâq) hukum kasus baru dengan hukum kasus lama yang sudah termaktub dalam kitab-kitab fikih. Metode ini adalah pengembangan dari metode Qiyas (analogi) yang biasa dikenal dalam bidang Ushul.

Dalam metode terakhir ini, sebagaimana dapat dilihat dalam kitab Anwâr Al-Burûq, syarat-syarat yang harus dipenuhi cukup ketat, dan hampir menyamai syarat-syarat yang ada pada metode Qiyas itu sendiri. Di sisi lain, kriteria seseorang untuk dapat diakui (mu’tabar) hasil keputusan hukumnya, paling tidak harus memiliki kualifikasi tertentu yang relatif berat. Sedangkan peran para pembahas (Mubâhitsîn), sebagaimana dapat dilihat dalam kebanyakan ibarah, hanyalah sebatas nâqil al-qaul (pengutip statemen).

Sebagai contoh praktek ilhâq al-masâ’il bi nadhâ’irihâ, dapat kita lihat dalam kasus aqiqah untuk orang yang telah meninggal. Dalam hasil bahtsul masail di PP. Nurul Kholil Bangkalan diputuskan bahwa aqiqah untuk orang yang telah meninggal tidak diperbolehkan kerena tidak dijumpai referensi sharihnya. Sedangkan hasil keputusan terbaru dalam FMPP ke-17, menyatakan boleh (sah), dengan alasan disamakan (diilhaq-kan) dengan keabsahan kurban untuk orang yang telah meninggal.

Sail: Kelas III ‘Aliyyah MHM

Pertanyaan
a. Bolehkah kita memutuskan sebuah hukum menggunakan metode ilhâq al-masâ’il bi nadhâ’irihâ?

Jawaban
a. Hukumnya boleh namun bukan dalam kerangka ilhâq jama’i melainkan menemukan ilhâq yang paling tepat dari beberapa ilhâq yang ditemukan musyawirin.

Catatan
Di dalam ilhâq di atas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Masâ’il yang dikaji harus indirâj (masuk) di bawah satu dlâbith.
- Tidak ada fâriq antara mulhaq dan mulhaq bih.
- Mulhiq (yang melakukan ilhâq) adalah al-faqih al-muqallid (faqihun nafsi), yaitu sosok yang memiliki pengetahuan fiqh yang memadai untuk dapat mengetahui permasalahan-permasalahan fiqhiyah yang lain dengan cepat.
- Alatnya adalah qawa’id dan dlawabith yang dikeluarkan oleh ashhab dari nash-nash imam dan ushulnya.

Referensi
1. Ghurar Al-Bahiyyah hal. 5
2. Al-Majmu’ vol. I hal. 643-647
3. Anwarul Buruq vol. II hal. 116-124
4. ‘Umairah vol. III hal. 102

Pertanyaan
b. Apakah bermazhab secara manhaji (metodologis) dilegalkan menurut syariat?

Jawaban
b. Tidak boleh kecuali bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat bermadzhab secara manhaji sesuai tingkatnya, sebagai berikut :
- Bagi mujtahid muqayyad atau ashhabul wujuh, yakni ulama' yang secara mandiri mampu menggali kaidah ushul imamnya dengan mengajukan dalil-dalil hukum pencetusan imamnya tersebut, akan tetapi tidak sampai keluar dari kerangka dalil dan kaidah imamnya, maka harus memenuhi syarat memiliki pemahaman fiqh, ushul fiqh dan dalil-dalil hukum secara terperinci, menguasai teori qiyas dan illat-illat hukum, serta mampu mengembangkan permasalahan dengan mengacu pada pola pencetusan hukum imam madzhabnya (dengan takhrij dan ilhâq).

- Bagi ulama' yang kapasitas keilmuannya masih di bawah ashhabul wujuh akan tetapi memiliki penguasaan dan hafalan mendalam tentang fiqh madzhab imamnya, mengetahui dalil-dalil hukum, serta melakukan pelestarian madzhab imamnya dengan melakukan tarjih terhadap pendapat imamnya dengan membandingkan dengan pendapat lain atau dengan pendapat murid-muridnya (ulama' madzhab), akan tetapi belum mampu mencapai taraf ashhabul wujuh karena keterbatasan keilmuannya dalam melakukan takhrij, maka harus memenuhi kapasitas untuk melakukan hal tersebut.

- Bagi ulama yang memiliki penguasaan dan hafalan mendalam tentang fiqh madzhab imamnya namun lemah dalam penguasaan dalil-dalil madzhab dan pemahaman qiyas-qiyas di dalamnya, maka hanya boleh melakukan ilhâq dalam persoalan-persoalan yang tanpa analisa mendalam telah diketahui tidak memiliki perbedaan dengan persoalan yang manqûl.

Referensi
1. Al-Majmu’ vol. I hal. 76
2. Al-Majmu’ vol. I hal. 78
3. Asnal Mathalib vol. IV hal. 280-281
LEGALITAS TEORI-TEORI NON-ISLAM
Kerangka Analisis Masalah

Evolusi adalah salah satu teori asal-usul kehidupan yang yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Teori Darwin ini mulai dikenalkan kepada siswa di kelas I SLTP, kemudian diperdalam lagi di jenjang kelas III SLTA. Salah satu ajaran teori ini menjelaskan bahwa manusia itu berasal dari kera. Setelah ribuan tahun kera mengalami proses evolusi terbentuklah wujud manusia secara sempurna. Meskipun teori ini telah dimentahkan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam, salah satunya adalah Harun Yahya, namun teori ini sampai sekarang masih tetap menjadi kurikulum pendidikan di negeri religius ini.

“Darwin berpendapat bahwa makhluk-makhluk hidup yang terdapat di lapisan bumi tua (dari fosilnya) mengadakan perubahan bentuk disesuaikan dengan lapisan bumi yang lebih muda. Jadi merupakan teori evolusi dan ternyata teori Darwin dapat diperkuat dengan teori Paleontologi yang telah banyak mengungkapkan keterangan-keterangan yang membenarkan adanya evolusi”. (Drs. Sutarno. Aspirasi Biologi III SMU Semester 2, Surakarta. CV. Widya Duta. Hal. 17)

Lebih dari itu, dalam bidang IPA, juga dikenalkan sebuah teori yang terkesan “dipaksakan” sebagai interpretasi teks agama (Al-Quran-Hadits), seperti teori ‘Big Bang’ yang dianggap sebagai teori terciptanya alam semesta yang paling mendekati Al-Quran, sidik jari sebagai salah satu hal yang diisyaratkan satu ayat dalam surat Yasin, ruang hampa udara sebagai hal yang diisyaratkan satu ayat dari surat At-Taubah, teori proses terjadinya hujan melalui penyerapan matahari terhadap air laut yang dulu dianggap sebagai wacana Mu’tazilah, dan lain-lain. Padahal, Al-Quran adalah tetap dan absolut, sedangkan ilmu pengetahuan akan selalu mengalami perkembangan yang tidak menutup kemungkinan di masa mendatang muncul bukti kesalahan teori, sehingga menjadi alasan menuduh Al-Quran tidak sesuai dengan data empiris dan fakta ilmiah.

Sail: PP. Mahir ar-Riyadl Ringinagung & Panitia

Pertanyaan
a. Bagaimana hukum mengajarkan dan mengikuti pelajaran teori Darwinisme?
b. Bagaimana hukum mempelajari teori-teori di luar Islam, seperti Komunisme, Marxisme, atau Atheisme?

Jawaban
a. Teori Darwin menyatakan bahwa manusia adalah hasil evolusi dari sejenis primata, yaitu semacam kera, karena kera memiliki organ dan bentuk tubuh paling mendekati manusia. Teori ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an sehingga hukum mempelajarinya haram kecuali bagi yang memiliki akidah yang kuat sekira tidak dikhawatirkan terpengaruh. Sedangkan hukum mengajarkan teori Darwin hukumnya juga haram kecuali apabila murid yang diajar tidak dikhawatirkan menyimpang dari akidahnya, yakni tetap meyakini bahwa yang menciptakan semua makhluk adalah Allah SWT., dan dengan menyampaikan sisi-sisi kebathilannya.

b. Sama dengan jawaban sub A.

Referensi
1. Fatawi Al-Azhar vol. VII hal. 412-413
2. Fatawi Al-Azhar vol. VII hal. 399
3. Al-Fatawi Al-Hindiyyah vol. V hal. 377-378
4. Tafsir Fakhrurrazy vol. II hal. 249
5. Tafsir Al-Alusy vol. I hal. 343
6. Hasyiyyah as-Syarqawy vol. II hal. 385-386
7. Az-Zawajir vol. I hal. 142-143

Pertanyaan
c. Bagaimana hukum menerbitkan dan memasarkan buku-buku yang memuat teori-teori tersebut?

Jawaban
c. Mencetak, menerbitkan dan mendistribusikan buku-buku tersebut hukumnya haram, sebab di dalamnya termuat ilmu-ilmu yang batil, kecuali bila buku-buku tersebut didistribusikan kepada orang yang sudah kuat akidahnya dan mampu memilah kebatilannya guna memperkokoh akidahnya.

Referensi
1. Al-Majmu’ vol. IX hal. 303
2. Hawasyi As-Syarwany vol. IV hal. 239
3. I’anatut Thalibin vol. III hal. 234
4. Bughyatul Mustarsyidin hal. 126
5. Al-Mausu’atul Fiqhiyyah vol. IX hal. 212-213
5. Raudlatut Thalibin vol. III hal. 416
6. Asnal Mathalib vol. II hal. 41

Pertanyaan
d. Bagaimana hukum melakukan analisa tafsir ‘kauniyyah’ baik terhadap ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa alam maupun tidak?

Jawaban
d. Kalau yang dimaksud adalah menafsiri ayat-ayat kauniyyah dengan analisa ilmiah, maka diperbolehkan dengan syarat:
- Mufassirnya adalah seorang ahli tafsir yang telah memenuhi syarat-syaratnya.
- Metode yang digunakan sesuai kaidah-kaidah melakukan penafsiran.
- Hasilnya tidak bertentangan dengan nushûsh asy-syarî’ah.

Sedang mengaitkan analisa-analisa atau penemuan ilmiah dengan ayat-ayat kauniyyah diperbolehkan asal tidak bertentangan dengan nushûsh asy-syarî’ah.

Referensi
1. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah vol. XIII hal. 96-97
2. Ihya’ ‘Ulumiddin vol. I hal. 292
3. Al-Hushun Al-Hamidiyyah hal. 148-149
4. Al-Hushun Al-hamidiyyah hal. 150-153
BONGKAR RAHASIA VS DA'WAH
Kerangka Analisis Masalah

Semakin beragam saja acara televisi. Demi menarik minat pemirsa, selain diproyeksikan untuk tujuan edukasi, format acara TV haruslah tetap bernuansa hiburan. Sebut saja sebuah acara di salah satu stasiun TV dengan judul "Toolooong..!", dengan format acara sebagai berikut : 
- Produser mengontrak sejumlah orang dengan keadaan yang sangat memprihatinkan, seperti cacat tubuh, miskin, anak yatim piatu, orang tersesat dan lain-lain, untuk minta bantuan pada orang-orang yang lalu lalang di jalanan, misalnya, agar kebutuhan mendesaknya dipenuhi.
- Kejadian tersebut terekam lengkap dalam sebuah kamera tersembunyi.
- Ada komentar dari pembawa acara setiap selesai penolakan yang berisi tentang pentingnya tolong menolong antar sesama, terutama pada mereka yang sangat membutuhkan.

Pertimbangan :
- Seluruh bagian tubuh, bahkan suara dari orang yang menolak permintaan, lulus sensor kecuali wajah.
- Berbagai alasan penolakan tidak seluruhnya salah dan kurang patut, terutama alasan yang bersifat pribadi seperti kebutuhan mencari nafkah, capek dan lain-lain.
- Komentar dari pembawa acara seolah-olah menunjukkan kurangnya pribudi orang yang menolak, sekalipun dikemas dalam bahasa petuah
- Tidak ada permohonan maaf dari pembawa acara setelah setiap penolakan, walau dengan pemberitahuan bahwa acara ini bukan sengaja mengorek kepribadian seseorang
- Rating acara ini kurang begitu diminati. Mungkinkah hal ini karena mayoritas pemirsa merasa tersinggung atau karena TV tidak lain hanyalah media refreshing, bukan majlis ta'lim.

Sail: Pengurus FMPP 

Pertanyaan:
a. Bagaimanakah hukum mengadakan dan melihat acara tersebut mempertimbangkan fakta-fakta di atas?

Jawaban :
a. Tidak diperbolehkan, karena acara tersebut mengandung unsur tahassus yang haram hukumnya menurut satu pendapat, apalagi juga ada potensi ghibah dan ifasya'ussirri.

Referensi :
- Ihya' ulumi al din juz 2 hal 161
- Ihya' ulumi al din juz 2 hal 165
- Ihya' ulumi al din juz 2 hal 345
- Bariqoh mahmudiyah juz 2 hal 456
- Ghidzau al albab juz 2 hal 400
"ADU KERAS SUARA ADZAN, SPEAKER MASJID DISITA". Itulah kejadian baru-baru ini di Arab Saudi. Setidaknya 100 loudspeker dari 45 masjid di barat provinsi Baha terpaksa dipreteli aparat. Mulai saat ini, di sana hanya diperbolehkan adzan memakai speaker internal. Survei Kementrian Urusan Islam Arab Saudi menyebutkan, ada beberapa masjid yang pengeras suaranya bisa terdengar sampai radius 5 KM. Akibatnya, Adzan masjid disekitarnya tidak terdengar. Untuk mengatasi persaingan adzan tersebut, rencananya pemerintah akan mengadakan inspeksi secara berkala. (JAWAPOS, RABU 29 APRIL 2009).

Sail: PP. Al-Anwar Sarang Rembang

Pertanyaan:
a. Adakah batas maksimum dalam kesunahan Adzan dengan suara keras? Jika ada, berapa batasnya?

Jawaban :
a. Tidak ada batasan maksimum dalam kesunahan mengeraskan suara adzan, akan tetapi apabila menimbulkan kebingungan sami'in (tahwisy) sebagaimana ketika ada beberapa adzan yang berbarengan, maka adzan dibatasi sampai tidak menimbulkan tahwisy.

Referensi :
- I'anatut tholibin juz 1 hal 275.
- Al majmu' juz 3 hal 123.
- I'anatut tholibin juz 1 hal 278.
- Majmu' fatawi wa rosail hal 174-175.

Pertanyaan:
b. Bagaimana justifikasi Fiqh atas penertiban Adzan yang dilakukan pemerintah Arab Saudi?

Jawaban :
b. Diperbolehkan apabila nyata kemaslahatannya dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan syara'.

Referensi :
- Roudlhoh Al Tholibin juz 2 hal 248.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar